Takut ketahuan kedua orang tua, aku merantau ke kota Bajawa, bersama teman baruku yang kukenal di pasar Soa. Namanya Gaspar. Kebetulan, dia penjual roti di Bajawa.
"Hai, Viktor. Mau tidak jual roti?" katanya suatu waktu.
"Jual roti di mana?" jawabku.
"Roti bosku," sahut Gaspar.
"Kalau engkau mau, sore ini kita ke Bajawa", lanjut Gaspar.
Tanpa pikir panjang, apalagi belum pernah ke Bajawa, yang selama ini hanya dengar cerita dari orang-orang tentang Bajawa. Maklum anak kampung.
"Ya, ya, aku mau," jawabku singkat.
"Ayo, kalau begitu, kamu siap-siap dulu, ya. Nanti sore aku tunggu kamu di tempat ini," timpal Gaspar.
Aku langsung pulang ke rumahku. Sepanjang jalan menunju rumah, dalam pikiranku terbayang bagaimana kota Bajawa.
Sesampai di rumah, keadaan rumah sepi, karena kedua orang tuaku sudah ke sawah.
Aku ke kamar orang tuaku, kubuka lemari membongkar tumpukan pakaian, janganjangan ada uang. Ternyata dugaanku benar, di antara tumpukan pakaian terselip uang Rp5.000. Tanpa pikir panjang, aku mengambil uang itu, walau aku tahu, it adalah satu-satunya harta kedua orang tuaku, karena untuk medapatkan uang itu kedua orang tuaku mengumpulkan dengan susah payah. Tapi, aku sudah tak memikirkan itu, yang ada dalam pikiranku saat itu adalah Bajawa, ya, hari ini aku harus ke Bajawa.