Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bersua Sarinah Modern di Titik Nol Anyer Panarukan

5 November 2019   11:07 Diperbarui: 5 November 2019   11:29 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rampak Bedug. Doc: Pribadi

"Tasnya memang sengaja ditinggal?"  Pastinya deretan gigi saya yang biasanya rapi, saat kalimat dengan alunan nada berat tertangkap telinga, menjadi terlihat dari balik bibir. Derai tawa saya meluncur walau lirih disela ucapan terima kasih saya yang berulang kali terdengungkan. Saya bahagia saat itu, apalagi jika bukan menemukan malaikat tanpa sayap di hadapan saya. Tas ransel saya utuh tanpa bergeser seincipun.

Apakah saya terlalu berlebihan menyebut wanita pemilik salah satu warung makan di pantai Anyer tersebut malaikat tanpa sayap? Tidak bagi saya, tapi baiklah saya menyebut beliau Sarinah saja. Iya Sarinah, wanita desa yang dipuja oleh Ir Sukarno karena nilai-nilal kerakyatan yang ditanamkannya sejak kecil. Belum tahu juga? Baiklah monggo ketik di laman Google kata kunci "Sarinah Bung Karno."

Balik lagi ke ransel ya, memang tas ransel hanya berisi jaket, dan beberapa lembar buku serta benda-benda sederhana namun berarti bagi saya. Bukankah nilai sebuah barang tidak selalu dilihat dari nominal semata. Apa yang sederhana untuk kita, bisa jadi berharga menurut orang lain? Asyekkk jadinya kaya petuah ala motivator gini yak.

Sarinah Modern

Monumen Mercusuar dan warung makan di sisi kanan. Doc: pribadi
Monumen Mercusuar dan warung makan di sisi kanan. Doc: pribadi
Baiklah baiklah sebelum bercerita lebih dalam, saya akan berkisah tentang awal pertemuan saya dengan Sarinah (saya lupa menanyakan nama asli beliau) tersebut. Jadi saya sedang berada di museum Mercusuar Cikoneng dimana juga terdapat tugu Titik Nol Anyer Panarukan. Saya bersama 443 peserta Persamuhan Pembakti Desa berkumpul bersama merayakan peringatan Sumpah Pemuda dengan prosesi Rampak Bedug dan pengibaran merah putih raksasa.

Pstt ada Gilang Ramadhan yang berbalut kain tradisonal nusantara juga melakukan jam session yang mematik semangat para peserta. Keren pisan pokoknya!

Nah sembari menunggu persiapan yang melibatkan puluhan penabuh bedug (siswa SMK di sekitar mercusuar dan perwakilan putri Papua) serta puluhan santri, saya dan dua peserta beranjak ke warung sekedar mencari camilan khas Banten. Jarak antara deretan 12 warung yang beratapkan jalinan nyiur, beralas pasir, dan bertiang bambu dengan monument Mercusuar bisa ditempuh dengan 40 langkah saja.

Dari bagian ujung tiap warung yang menghadap pantai, kita bisa melihat dermaga dan karang-karang hijau. Sisi kanan dermaga cenderung tak begitu riuh ombaknya, beda dengan sisi kiri yang sudah ditanami balok-balok pemecah ombak. Sejauh memandang sampai batas garis pantai hanya ada satu perahu besar. Penasaran sih apa mereka sedang menjala ikan atau sedang mencari harta karun? (efek membaca Atlantis :) )

Setelah menikmati beberapa camilan serta bercakap-cakap, kami beranjak kembali ke museum Mercusuar dimana panitia dari pihak Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI. Oya pantai Anyer sebenarnya termasuk dalam wishlist saya saat berada di bangku Sekolah Dasar. Saat itu sedang membaca buku sejarah tentang Dandels yang membangun jalan perintis Anyer Panarukan dan hingar bingarnya. Lama ya tercapainya wishlist nya, tidak apa-apalah, semua tepat pada waktu-Nya :)

Baiklah kembali ke kisah Sarinah modern. Sesaat saya sudah asyik mengabadikan rampak gendang, tetiba teringatlah bahwa tas ransel belum menempel di punggung. "Alamak! Bagaimana bisa lupa segede gaban gitu!" Saya tertawa renyah kala teman gemas melihat saya berkesah sekaligus mentertawakan diri sendiri. "Yuk kita ambil!" Dan kami hampir melompat saat berjalan menuju pintu gerbang.

Belum juga sampai di depan warung, kami sudah dilambai oleh wanita paruh baya berhijab hijau muda dengan kulit eksotik khas penduduk pantai. Beliau duduk tepat di balai-balai bambu dengan mengupas ketimun. "Tasnya memang sengaja ditinggal?" Serta merta saya tergelak sembari mendengungkan terima kasih tak putus.

Seraya mengambil ransel yang tak berubah seincipun di selasar warung berbahan bambu beralas nyiur, saya dinasehati tak henti. Nada kalimat yang diperkatakan ibu pemilik warung tersebut memang khas daerah pesisir, namun saya tetap bahagia. Nuwun bu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun