Mohon tunggu...
Vijae Yehezkiel Simanjuntak
Vijae Yehezkiel Simanjuntak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti Lembaga Kajian Ilmiah dan Studi Hukum FH UNMUL 2024

Saya Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Saya suka mengikuti perkembangan dinamika politik hukum di Indonesia. Ikut aktif dalam penulisan berbagai opini dibidang hukum.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Anggota Kerja Dewan: Kebohongan yang Dipertontonkan?

28 Maret 2024   09:52 Diperbarui: 28 Maret 2024   10:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: website resmi dpr.co.id. Ilustrasi Kantor DPR RI

Penulis: Vijae Yehezkiel Simanjuntak (Lembaga Kajian Ilmiah dan Studi Hukum FH UNMUL)

Lembaga Kajian Ilmiah dan Studi Hukum (LKSIH) FH UNMUL 2024

Negara Indonesia terbentuk tentunya dengan perjuangan yang besar oleh rakyat Indonesia pada zaman penjajahan. Kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Presiden pertama Indonesia, yaitu Ir. Soekarno membawa banyaknya cita cita rakyat bangsa ini. Maka dari para Founding Father terus melakukan berbagai upaya agar terwujudnya cita cita yang kemudian dialirkan melalui UUD 1945.
Dalam Konstitusi kita, Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan: “pemegang kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Tentunya ini menjadi dasar bahwa segala pembentukan peraturan hukum harus mendukung rakyat. Namun mengapa hari hari ini banyak ditemukan peraturan hukum yang mencoreng kepentingan seluruh rakyat Indonesia?

Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga representatif dari konsep kedaulatan rakyat menjadi tonggak utama dalam pembentukkan peraturan perundang undangan di Indonesia. Tentunya kedudukan DPR hari hari ini tak lepas dari banyaknya perubahan lembaga perwakilan sejak Negara ini diproklamasikan. Sejarah kelembagaan DPR diawali dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950), kemudian DPR dan senat Republik Indonesia Serikat (1950), Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956), DPR Hasil Pemilu pertama (1956-1959), DPR setelah Dekrit Presiden (1959-1960), DPR Gotong Royong (1960-1965), DPR Gotong Royong Partai Komunis Indonesia (1965- 1966), DPR Gotong Royong Orde Baru (1966-1971), hingga pada keadaan DPR masa kini (1971-2024). Dinamika yang begitu banyak terhadap kelembagaan DPR sebagai bentuk upaya demi terwujudnya rakyat yang berkeadilan melalui lembaga legislatif. Apalagi kewenangan pembentukan perundang undnagan yang dimiliki DPR membuat lembaga ini menjadi lembaga yang sangat stretegis dalam sistem kelembagaan di Indonesia.

Namun lantas kemudian yang perlu dipertanyakan adalah, apakah keberadaan anggota DPR pada masa kini sudah melaksanakan kewajibannya untuk menyuarakan aspirasi rakyat? Tentunya hal ini sudah terjawab melalui kondisi Negara ini. Tak jarang ditemukan perundang undangan yang diresmikan justru merugikan rakyat dan malah sangat melekat pada unsur kepentingan. Hal ini membuat masih gagalnya kelembagaan DPR sebagai lembaga yang digadang-gadang sebagai “rumah rakyat”. Menurut Penulis terdapat 2 poin utama kegagalan lembaga DPR sebagai lembaga representatif rakyat.

Poin pertama, yaitu Kaderisasi partai Politik yang buruk. Kaderisasi partai sangat menentukan kualitas anggota dewan legislatif yang terpilih. Hal ini tak terlepas dari mekanisme pemilihan anggota dewan yang harus melalui partai politik. Namun faktanya banyak kita temukan anggota dewan yang tak berintegritas. Bahkan tak jarang anggota dewan terpilih yang tidak mengetahui kewenangannya sendiri. Lantas kemudian maka wajar saja ditemukan banyak anggota dewan yang malah “memakan duit Negara”. Kehausan partai politik untuk mendapatkan kekuasaan di negeri ini membuat mereka tak lagi mempertimbangkan kualitas kadernya. Hal ini membuat partai politik memilih kepopularitasan menjadi poin utama untuk memilih kader mengikuti ajang kontestasi pemilu.

Poin Kedua, yaitu penggunaan konsep recall. Penggunaan konsep ini berasal dari ketentuan yang atur melalui UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. Recall merupakan konsep yang memungkinkan partai politik untuk me recall anggotanya dari anggota dewan legislatif yang dianggap bertentangan AD/ART partai atau melenceng dari kebijakan partai. Hal ini membuat recall berfungsi sebagai alat partai politik untuk mengkontrol kadernya yang meduduki kursi parlemen. Tentunya hal ini membuat angggota dewan legislatif memiliki “ketakutan” terhadap ketua partai yang sangat melekat dengan unsur kepentingan. Lantas pastinya, hal ini menyebabkan para anggota parlemen menjadi tak leluasa dalam menyampaikan aspirasi rakyat.

Maka penurut penulis, dua poin di atas menjadi landasan utama seringnya masyarakat dibohongin oleh para anggota dewan yang katanya “ingin menyuarakan aspirasi rakyat”. Kaderisasi yang buruk serta penggunaan konsep recall membuat nilai esensi kelembagaan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak terwujud. Maka hal ini juga membuat dicederainya nilai demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu perlunya perbaikan khususnya dalam keanggotaan lembaga perwakilan demi terwujudya lembaga DPR yang mempresentatifkan kedaulatan rakyat. Akademisi, mahasiswa, pers dan lapisan masyarakat menjadi tonggak dalam mengawasi segala bentuk kebijakan dan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun