Reformasi sering dipahami sebagai gerakan menuju perbaikan, suatu proses perubahan sistemik untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil, demokratis, dan transparan. Di Indonesia, Reformasi 1998 menandai runtuhnya rezim Orde Baru dan melahirkan era kebebasan politik serta semangat keterbukaan.
Namun, di sisi lain, kata "eksploitasi" berarti pemanfaatan secara tidak adil untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Eksploitasi bisa hadir dalam berbagai bentuk: ekonomi, sosial, politik, bahkan digital.
Ketika semangat reformasi disalahgunakan untuk membungkus tindakan eksploitatif, muncullah fenomena yang bisa kita sebut sebagai "reformasi berkedok eksploitasi", yaitu ketika perubahan diklaim untuk rakyat, padahal menguntungkan segelintir elite.
Bentuk-Bentuk dan Contoh Reformasi Berkedok Eksploitasi di Indonesia
a. UU Cipta Kerja (Omnibus Law)
Diklaim sebagai bagian dari reformasi regulasi untuk mempercepat investasi dan membuka lapangan kerja, UU Cipta Kerja justru menuai kritik luas. Banyak pihak menilai undang-undang ini mendorong eksploitasi tenaga kerja dengan menghapus sejumlah perlindungan buruh dan memperbesar celah eksploitasi lingkungan.
Sumber :
Komnas HAM menyatakan UU Cipta Kerja berpotensi melanggar hak atas pekerjaan layak (Komnas HAM, 2020).
BBC Indonesia mengulas reaksi publik yang menuduh pemerintah lebih berpihak kepada investor besar.
b. Reformasi Digital dan Platformisasi Kerja