Mohon tunggu...
Xavier Kharis
Xavier Kharis Mohon Tunggu... -

“Dalam kesadaran moral ku, mata Allah menatapku, dan sejak itu, tak pernah dapat aku melupakan bahwa mata itu memandangku” (Kierkergaard)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berdamai dengan Gaib

9 Januari 2019   00:38 Diperbarui: 9 Januari 2019   00:47 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berarti sesuatu dapat dikatakan "nyata" bila dalam kerangka empiris, kita sudah melihatnya secara visual. Jika demikian, maka kita sudah sedikit menyelamatkan kata "gaib" dari stigma negatif.

Kemudian saya juga menyentuh kepada persoalan tentang penggunaan kata "gaib" yang selalu dipakai untuk menunjuk setan dkk (biar lebih singkat). Apa yang membuat kita secara automatis menggunakan "gaib" untuk menuju kesitu? Tidak ada dasar yang mutlak! Tetapi automasi inilah yang kemudian membuat banyak orang bisa marah kalau saya katakan Tuhan itu makhluk gaib.

Apakah Tuhan kelihatan secara visual? Tidak! Tuhan juga kasat mata...

Saya menggunakan definisi "gaib" itu kasat mata, dan mengatakan bahwa makhluk gaib berarti adalah sosok-sosok yang tidak dapat dilihat secara visual. Maka bila Tuhan itu tidak terlihat secara visual, apa bedanya Dia dengan makhluk gaib? Apa bedanya juga Surga dengan alam gaib? Keduanya sama saja karena sama-sama tidak kasat mata.

Maka yang perlu kita lakukan adalah "berdamai dengan gaib". Kita harus mulai melepas pemahaman negatif bahwa gaib itu sudah pasti merujuk kepada sosok-sosok yang tidak terlihat, dan sosok itu adalah setan. 

Ingat, Tuhan yang kita imani juga tidak dapat terlihat secara visual. Oleh karena itu, kata "gaib" tidak dapat menjadi pembeda antara Tuhan dengan makhluk tidak terlihat lainnya. Karena kalau kita menjadikan kata itu sebagai pembeda, maka ingatlah definisi tentang "tidak terlihat".

Lalu jika Tuhan masuk dalam definisi gaib..

Bisakah kata "gaib" menjadi penunjuk akan Tuhan? Bisa saja. Karena kata itu tidak dapat dan tidak boleh "dibully" dengan judgement yang membuat kata itu menjadi peyoratif. Sehingga ada rasa tidak nyaman bila kata "gaib" itu digunakan untuk menunjuk kepada Tuhan. Biarlah kata itu hidup dan dipakai dengan makna yang universal. 

Selama ini kita menggunakan kata, tetapi juga membunuh kata tersebut dengan menjadikannya peyoratif. Kata yang kemudian telah menjadi peyoratif, maka selamanya akan merubah makna dan cara pandang kita, bahkan cara kita menafsirkan segala sesuatu.

 

Ya Tuhan Allah,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun