Mohon tunggu...
Vidi Newrockman
Vidi Newrockman Mohon Tunggu... Human Resources - Keluarga D

i'm a grown up punk

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bolehkah Karyawan Menolak Mutasi? Bagaimana Aturanya?

3 Juli 2021   12:00 Diperbarui: 3 Juli 2021   13:08 4100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GETTY via huffingtonpost.ca

Bolehkah karyawan menolak mutasi?

Sudah nyaman bekerja tiba tiba dimutasi kerja ke tempat lain? Pasti rasanya berat sekali meninggalkan lingkungan kerja dan harus menyesuaikan diri di lingkungan dan pekerjaan yang baru. Gaji pun tidak ada kenaikan, Belum lagi kalau sampai harus meninggalkan keluarga. Rasanya ingin segera mengundurkan diri, namun masih butuh pekerjaan. 

Pasti ada jalan lain! Mutasi memang terasa menyengsarakan dan tidak adil bagi sebagian karyawan, sudah sepantasnya anda menuntut keadilan dan menolak mutasi. Apakah boleh sebagai seorang karyawan anda menolak mutasi? 

Sayang sungguh disayang, menolak mutasi dapat diartikan menolak perintah kerja dari perusahaan. Pada umumnya peraturan tentang mutasi ini diatur dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan. Untuk itu anda perlu melihat kembali apakah peraturan tentang mutasi telah diatur dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan anda.

Apakah induk  perusahaan boleh melakukan mutasi karyawan ke anak perusahaan?

Apakah holding company (Induk perusahaan) diperbolehkan untuk melakukan mutasi karyawan ke subsidiary (Anak perusahaan)? kasus ini sering sekali terjadi dalam sebuah korporasi atau grup yang secara entitas perusahaan dan perjanjian kerjanya sudah berbeda.

Pada kasus mutasi seperti ini biasanya disebut sebagai pengalihan kerja. Karena perpindahan yang dilakukan memang berbeda dengan mutasi pada umumnya. 

Hal ini tetap diperbolehkan namun dengan beberapa pengecualian. Perusahaan harus tetap berpedoman pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang mengatur perihal pengalihan karyawan antar-perusahaan dalam satu grup.

Perjanjian Pengalihan Kerja

Bagaimana jika perjanjian kerja dan peraturan perusahaan tidak mengatur perihal  pengalihan kerja? Tentu perusahaan berkewajiban membuat perjanjian pengalihan yang harus disetujui oleh karyawan. Mengacu pada pasal 61 ayat 3 UU Ketenagakerjaan 13 tahun 2003 dijelaskan seperti berikut:

  • Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.

Mengacu pada pasal tersebut maka perusahaan harus memperhatikan beberapa hal dalam membuat perjanjian pengalihan kerja yaitu

  • penegasan hubungan kerja antara perusahan induk dengan karyawan. 
  • penegasan hak hak karyawan  
  • Kesediaan karyawan untuk dialihkan ke anak perusahaan
  • Kesediaan perusahaan induk untuk memperbantukan anak perusahaan melalui pengalihan tenaga kerja
  • Waktu dan masa pengalihan kerja

Hubungan Kerja 

Dalam perihal hubungan kerja saat terjadi pengalihan kerja, sebaiknya kita melihat kembali apakah hal tersebut telah diatur dalam perjanjian kerja awal perusahaan induk dengan karyawan. Apabila belum atau tidak diatur, maka perusahan berkewajiban membuat perjanjian peralihan kerja jika karyawan masih dalam hubungan kerja dengan perusahaan induk. Jika karyawan berpindah hubungan kerja dengan anak perusahaan maka wajib untuk dibuatkan perjanjian kerja baru oleh anak perusahaan  

Perjanjian kerja adalah bukti sebuah hubungan kerja yang berfungsi mengikat tanggung jawab serta hak kedua belah pihak. Mengacu pada Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, hal-hal yang wajib ada dalam suatu perjanjian kerja, yaitu:

Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:

  • nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
  • nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;
  • jabatan atau jenis pekerjaan;
  • tempat pekerjaan;
  • besarnya upah dan cara pembayarannya;
  • syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
  • mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
  • tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
  • tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Masa Kerja

Tentu masa kerja dihitung berdasarkan bentuk pengalihan kerja yang dilakukan. Apabila karyawan tetap memiliki hubungan kerja dengan perusahaan induk, maka perhitungan masa kerja tetap berjalan sebagai karyawan induk perusahaan. 

Apabila karyawan dialihkan secara permanen ke anak perusahaan maka masa kerja dihitung  sebagai karyawan baru dan wajib untuk dibuatkan perjanjian kerja baru dari anak perusahaan. 

Dan tentu sebelum hal tersebut dilakukan, Induk perusahaan berkewajiban untuk menyelesaikan kewajiban membayar hak karyawan berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. 

Peraturan pemerintah tentang mutasi

Banyak hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan kebijakan mutasi dalam sebuah perusahaan, karena hal tersebut sangat menentukan produktifitas seorang karyawan. Mutasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan produktifitas karyawan. 

Jika mutasi dilakukan tanpa pertimbangan, tentu akan menimbulkan masalah masalah baru dan justru bertolak belakang dengan tujuan mutasi itu sendiri. Untuk itu pemerintah telah mengatur perihal penempatan kerja dalam UU Ketenagakerjaan yaitu :

UU Ketenagakerjaan 13 Tahun 2003

BAB VI 

PENEMPATAN TENAGA KERJA 

Pasal 31 

  1. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.

Pasal 32 

  1. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
  2. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. 
  3. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.  

Pasal 33  

  1. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan 
  2. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34 

  1. Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang

Pasal 35 

  1. Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.

  2. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja

  3. Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36 

  1. Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.

  2. Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur : a. pencari kerja; b. lowongan pekerjaan; c. informasi pasar kerja; d. mekanisme antar kerja; dan e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.

  3. Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.

Pasal 37

  1.  Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat terdiri dari : a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan b. lembaga swasta berbadan hukum.
  2. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 38

  1. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.

  2. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.

  3. Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Langkah penyelesaian

Mengacu pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Medan Nomor 318/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Mdn. Putusan tersebut ditetapkan atas gugatan penolakan kebijakan mutasi yang dilakukan perusahaan terhadap karyawan. Sebagian gugatan dikabulkan oleh PHI dan sebagian gugatan ditolak dalam konvesi (gugatan awal) dan rekonvensi (gugatan balasan). Perlu diingat kasus ini terjadi pada tahun 2017. Putusan pengadilan tentu mengacu pada perarutan yang berlaku ditahun tersebut.

Majelis Hakim menetapkan pemutusan hubungan kerja antara karyawan penggugat dan karyawan tergugat dengan mengacu pada Pasal 161 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi : 

  1. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. 
  2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 
  3. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Namun perlu diingat alasan pemutusan hubungan kerja adalah mangkirnya karyawan dari pekerjaan. Mengacu pada Pasal 168 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yang berbunyi : 

  1. Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. 
  2. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja. 
  3. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 36 Ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021) diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

  • Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;

Hak akibat pemutusan hubungan kerja 

Majelis Hakim juga menetapkan perintah putusan yaitu perusahaan tergugat harus membayar hak normatif karyawan penggugat sesuai dengan  Pasal 161 ayat (3) Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yakni sejumlah:

  • Pesangon 1 x 4 x Rp.3.009.700,- = Rp.12.038.800,-
  • Uang P.Masa Kerja 2 x Rp.3.009.700,- = Rp. 6.019.400,-
  • Penggantian hak 15% x Rp.18.058.200,- = Rp. 2.708.730,-+

(Dua puluh juta tujuh ratus enam puluh enam ribu sembilan ratus tiga puluh rupiah) 

Perlu diingat pada kasus tersebut Perhitungan hak karyawan mengacu pada peraturan yang berlaku ditahun tersebut, untuk saat ini pemerintah saat ini sudah mengatur hak akibat pemutusan kerja di dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021) diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu : 

  • Pesangon                   :  Ketentuan pesangon x Upah
  • Uang P.Masa Kerja : Kententuan UPMK x upah
  • Penggantian hak     :  Sisa cuti + Biaya mudik + Hal hal yang diatur dalam PP/PKB + Uang Pisah  

pesangon-umpk-png-60daedae06310e084712e224.png
pesangon-umpk-png-60daedae06310e084712e224.png
sedangkan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021) diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengatur hak karyawan akibat pemutusan karena alasan mangkir sesuai ketentuan pasal 36 ayat (10) yaitu :
  • Uang P.Masa Kerja : Kententuan UPMK x upah
  • Penggantian hak     :  Sisa cuti + Biaya mudik + Hal hal yang diatur dalam PP/PKB + Uang Pisah   

Sebelum mengambil langkah menyelesaikan perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial, tentu sebaiknya perselisihan telah menempuh langkah LKS Bipartit dan Tripartit terlebih dahulu. Namun jauh sebelum menempuh langkah tersebut ada cara yang paling baik dan menguntungkan bagi perusahaan maupun karyawan. Prinsip dasar dari penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah menemukan kesepakatan yang terbaik bagi kedua belah pihak. Untuk itu apabila anda merasa keberatan dengan kebijakan mutasi yang diberikan, bicaralah baik baik kepada atasan atau pihak manajemen, Jelasakan alasan anda menolak mutasi. Jalinlah komunikasi yang baik dengan perusahaan.




 


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun