Awalnya Tampak Biasa: Sekadar Scroll Timeline.
Malam itu seperti malam-malam biasanya. Aku hanya ingin rebahan sebentar sambil scroll Instagram dan TikTok. Tapi tanpa sadar, aku mulai merasa gelisah. Seseorang yang dulu kukenal sedang liburan ke Eropa. Yang lain menghadiri seminar keren di hotel bintang lima. Seorang teman bahkan baru saja bertunangan lengkap dengan caption manis yang menyentuh hati.
Aku terdiam. Bukan karena aku tidak senang untuk mereka. Tapi... kenapa hatiku terasa sesak?
Apa aku sedang iri? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Lalu aku baru menyadari: ini adalah FOMO Fear of Missing Out. Sebuah rasa takut, cemas, dan gelisah karena merasa tertinggal dari orang lain. Seolah dunia ini sedang berjalan cepat tanpa menungguku, dan aku mulai panik: "Aku sudah ngapain aja selama ini?"
Tentang Kebahagiaan yang Diam-Diam Bocor
FOMO tidak datang dengan suara keras. Ia seperti air yang menetes pelan, membasahi lantai hati, lalu tiba-tiba sudah membuat kita tergelincir. Kita tidak sadar bahwa perasaan itu sudah menggerogoti isi hati. Kita mulai tidak bersyukur atas apa yang kita miliki. Kita merasa pencapaian kita kurang. Kita merasa kehidupan orang lain jauh lebih menarik, lebih mewah, lebih bahagia.
Ironisnya, kita jadi membenci hal-hal yang sebelumnya bisa membuat kita bahagia. Secangkir kopi di pagi hari tak lagi terasa istimewa setelah melihat orang lain ngopi di rooftop Bali. Tawa bersama keluarga tak lagi cukup, karena teman kita sedang makan malam romantis di restoran mahal. Proyek sederhana yang sedang kita kerjakan terasa hambar, karena teman seangkatan sudah tampil di televisi nasional.
Bukannya memperkuat diri, FOMO malah mengikis kepercayaan diri. Bukannya fokus pada pertumbuhan diri, kita malah sibuk menengok pagar orang lain. Dan tanpa sadar, kita mulai kehilangan satu hal paling berharga: damai dan bahagia.
Dunia Maya: Panggung Tanpa Realita Penuh
Aku pernah berpikir semua orang di media sosial menjalani hidup yang sempurna. Tapi semakin aku renungkan, aku mulai melihat sebuah pola: yang ditampilkan hanyalah potongan terbaik dari kehidupan seseorang seperti teaser film, bukan keseluruhan ceritanya.
Kita jarang tahu perjuangan mereka. Jarang ada yang membagikan kegagalan, kecemasan, air mata, atau luka yang belum sembuh.
Media sosial hanya menampilkan highlight, bukan behind-the-scene.
Aku mulai bertanya: Kenapa aku membandingkan hidupku yang nyata dan lengkap dengan naik turunnya emosi dengan potongan terbaik dari orang lain yang bahkan tidak sepenuhnya aku kenal?
Itulah jebakan FOMO: membuat kita percaya bahwa kebahagiaan itu ada di luar sana, bukan di dalam sini. Membuat kita merasa harus ikut-ikutan semua tren, semua acara, semua gaya hidup karena takut dianggap "ketinggalan zaman" atau "nggak gaul."
Ketika Hidup Jadi Lomba yang Tak Pernah Kita Daftar
Sejak kecil, kita terbiasa dengan perlombaan. Ranking di kelas. Nilai tertinggi. Juara lomba. Saat dewasa, bentuk lombanya berubah: siapa yang cepat menikah, siapa yang punya rumah duluan, siapa yang traveling ke luar negeri, siapa yang lebih viral, lebih sukses.
Tapi di tengah semua itu, kita lupa satu hal penting: tidak semua hal harus kita ikuti. Tidak semua pencapaian orang lain harus menjadi standar hidup kita.
Bayangkan jika kamu adalah pohon jambu, lalu kamu terus cemburu pada pohon mangga karena buahnya lebih besar. Padahal kamu diciptakan untuk memberi rasa yang berbeda, dan punya musim panen yang berbeda pula.
Begitu pula hidup. Kita semua punya musim masing-masing. Ada yang mekar duluan, ada yang belakangan. Dan tidak apa-apa. Serius, tidak apa-apa.
Belajar Hidup Tanpa Terus Menengok ke Kiri dan Kanan
Hari itu aku putuskan untuk berhenti sejenak. Bukan berhenti dari hidup, tapi berhenti membandingkan. Aku mulai melatih diri untuk bersyukur atas hal-hal kecil. Aku tulis setiap malam: tiga hal yang membuatku tersenyum hari ini. Kadang hanya nasi goreng buatan sendiri. Kadang tawa adikku. Kadang sinar matahari pagi yang hangat.
Perlahan-lahan, aku mulai merasakan perubahan. Aku tidak lagi gelisah jika tidak hadir di suatu acara. Aku tidak merasa bersalah jika tidak update story. Aku mulai nyaman dengan diriku sendiri dengan hidupku yang pelan-pelan, tapi penuh warna dan makna.
Menutup Artikel Ini: Sebuah Pelukan untuk Siapa Pun yang Pernah Merasa Tertinggal
Untukmu yang membaca ini dan pernah merasa tidak cukup, pernah merasa terlambat, pernah merasa kalah aku ingin berkata:
Kamu baik-baik saja. Kamu tidak ketinggalan apa pun. Kamu hanya sedang berjalan di jalur yang unik, dan tidak ada yang bisa membandingkan kecepatanmu dengan siapa pun.
Berhentilah sejenak. Tatap langit. Lihat dunia nyata yang indah ini. Lepaskan ponselmu. Peluk dirimu sendiri.
Dan katakan: "Aku tidak ingin terus hidup dalam rasa takut. Aku ingin hidup dalam rasa syukur."
Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang paling bersinar di layar, tapi siapa yang paling damai di dalam hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI