Mohon tunggu...
Videla Natasya
Videla Natasya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi dance

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fomo: Saat Kita Sibuk Mengejar Kehidupan OrangLain, Tapi Lupa Bahwa Kebahagiaan Kita Sedang Dicuri Perlahan

16 Juli 2025   13:57 Diperbarui: 16 Juli 2025   13:57 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marah yang datang dari teman, bisa menyisakan luka paling dalam (Sumber: Brangkas Pribadi/Videla)

Awalnya Tampak Biasa: Sekadar Scroll Timeline.

Malam itu seperti malam-malam biasanya. Aku hanya ingin rebahan sebentar sambil scroll Instagram dan TikTok. Tapi tanpa sadar, aku mulai merasa gelisah. Seseorang yang dulu kukenal sedang liburan ke Eropa. Yang lain menghadiri seminar keren di hotel bintang lima. Seorang teman bahkan baru saja bertunangan lengkap dengan caption manis yang menyentuh hati.
Aku terdiam. Bukan karena aku tidak senang untuk mereka. Tapi... kenapa hatiku terasa sesak?

Apa aku sedang iri? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Lalu aku baru menyadari: ini adalah FOMO Fear of Missing Out. Sebuah rasa takut, cemas, dan gelisah karena merasa tertinggal dari orang lain. Seolah dunia ini sedang berjalan cepat tanpa menungguku, dan aku mulai panik: "Aku sudah ngapain aja selama ini?"

Tentang Kebahagiaan yang Diam-Diam Bocor

FOMO tidak datang dengan suara keras. Ia seperti air yang menetes pelan, membasahi lantai hati, lalu tiba-tiba sudah membuat kita tergelincir. Kita tidak sadar bahwa perasaan itu sudah menggerogoti isi hati. Kita mulai tidak bersyukur atas apa yang kita miliki. Kita merasa pencapaian kita kurang. Kita merasa kehidupan orang lain jauh lebih menarik, lebih mewah, lebih bahagia.

Ironisnya, kita jadi membenci hal-hal yang sebelumnya bisa membuat kita bahagia. Secangkir kopi di pagi hari tak lagi terasa istimewa setelah melihat orang lain ngopi di rooftop Bali. Tawa bersama keluarga tak lagi cukup, karena teman kita sedang makan malam romantis di restoran mahal. Proyek sederhana yang sedang kita kerjakan terasa hambar, karena teman seangkatan sudah tampil di televisi nasional.

Bukannya memperkuat diri, FOMO malah mengikis kepercayaan diri. Bukannya fokus pada pertumbuhan diri, kita malah sibuk menengok pagar orang lain. Dan tanpa sadar, kita mulai kehilangan satu hal paling berharga: damai dan bahagia.

Dunia Maya: Panggung Tanpa Realita Penuh

Aku pernah berpikir semua orang di media sosial menjalani hidup yang sempurna. Tapi semakin aku renungkan, aku mulai melihat sebuah pola: yang ditampilkan hanyalah potongan terbaik dari kehidupan seseorang seperti teaser film, bukan keseluruhan ceritanya.

Kita jarang tahu perjuangan mereka. Jarang ada yang membagikan kegagalan, kecemasan, air mata, atau luka yang belum sembuh.
Media sosial hanya menampilkan highlight, bukan behind-the-scene.

Aku mulai bertanya: Kenapa aku membandingkan hidupku yang nyata dan lengkap dengan naik turunnya emosi dengan potongan terbaik dari orang lain yang bahkan tidak sepenuhnya aku kenal?

Itulah jebakan FOMO: membuat kita percaya bahwa kebahagiaan itu ada di luar sana, bukan di dalam sini. Membuat kita merasa harus ikut-ikutan semua tren, semua acara, semua gaya hidup karena takut dianggap "ketinggalan zaman" atau "nggak gaul."

Ketika Hidup Jadi Lomba yang Tak Pernah Kita Daftar

Sejak kecil, kita terbiasa dengan perlombaan. Ranking di kelas. Nilai tertinggi. Juara lomba. Saat dewasa, bentuk lombanya berubah: siapa yang cepat menikah, siapa yang punya rumah duluan, siapa yang traveling ke luar negeri, siapa yang lebih viral, lebih sukses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun