Mohon tunggu...
Via Mardiana
Via Mardiana Mohon Tunggu... Human Resources - Freelance Writer

Penulis Novel | Freelance Writer | Blogger | Traveller | Instagram : @viamardiana | Twitter: @viamardianaaaaa | Blog pribadi : www.viamardiana.com | Email : engineersukasastra@gmail.com atau mardianavia@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan Bersamaku Pada Secangkir Kopi

29 Februari 2016   12:08 Diperbarui: 29 Februari 2016   13:45 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Poto di ambil di kedai kopi. Bogor 2015"][/caption]

Aku memesan kopi, Engkau melihatnya. Aku menambahkan gula, Engkau pasti melihatku. Aku menambahkan gula lagi, Engkau jelas melihatku. Aku mengaduknya, Engkau melihatku. Aku meniup-niup kopi agar dingin, Engkau pun melihatku. Aku meneguknya, Engkau pun melihat dengan jelas. Aku diam sambil menengadahkan kepala keatas, Engkau melihatku. Aku silangkan kaki, Engkau melihatnya.

Aku menidurkan badan pada meja di warung kopi, Engkau melihatnya. Dan ketika aku mendengus kesal karena sesuatu, Engkau sigap memberiku jawaban. Ketika aku merasa resah, Engkau berikan jawaban lewat sholat. Ketika wajahku marah, Engkau berikan jawaban lewat berwudhu. Bagaimana aku bisa acuh ketika suara-Mu memanggilku, lalu aku pura-pura tak mendengar dan melanjutkan aktifitasku tanpa malu?

Malam hari aku melakukan refleksi bersama kopi, aku yakin Tuhan pun ada disitu. Tuhan pasti melihatku bersama kopi, kadang aku akan bersama kedua sahabatku. Tapi banyak juga aku lakukan sendiri, aku tahu biarlah orang-orang tahu ceriaku dan kopi dan Tuhan yang tahu bagaimana sebenarnya aku. Tak baik mengumbar kesedihan, kata Tuhan. Mending aku bercerita langsung pada-Nya setiap malam.

Kopi. Jika aku merasa jenuh apakah masih boleh diwajar-i? Ketika aktifitasku tidak banyak dan malah lebih banyak diam, apakah aku masih boleh ngotot kenapa Tuhan tak segera memberiku pekerjaan? Padahal setiap hari aku getol untuk melamar kesana kemari, tapi tak kunjung ada panggilan. Ada yang salah dengan sikapku selama ini? Ketika kawan-kawanku sudah banyak mendapat pekerjaan, menciptakan uang untuk kedua orangtuanya, dan aku masih santai-santai dirumah?

Aku membuat kopi keluar dari gelas beberapa mili, sepertinya kopi enggan mendengar ceritaku lagi. Aku masih tetap mengaduknya, didalam setiap adukan aku melihat wajah Ibu, Bapak, dan orang-orang yang sedari dulu memberiku kebahagiaan. Aku menatap tajam gerakan yang diciptakan oleh adukanku. Satu kesalahan telah kulakukan ternyata. Jawabannya ada pada tegukan kedua. Aku ngotot ingin bekerja, aku ngotot ingin segera bahagia, padahal usaha yang kulakukan belum seberapa. Apa pantas meminta sesuatu untuk yang tidak pernah diperjuangkan?

Jelas tidak berkelas sekali untuk makhluk yang dibekali akal seperti manusia. Aku ngotot telah berusaha, mengitung setiap usaha yang kulakukan dan aku seperti tidak pernah ikhlas dalam berjuang. Aku merasa telah melakukan apapun, padahal perjuanganku tidak dibarengi dengan keihklasan dan hanya menuntut Tuhan memberiku segera kebahagiaan. Jika belum dikabulkan aku malah merasa sendiri, mengutuk diri sendiri, lalu menyalahkan orang-orang sekitarku. Oh Tuhan, kesalahan yang mendasar ternyata telah dilakukan. Tegukan ketiga, aku tertawa. Konyol sekali rupanya diriku ini yah, menyalahkan Tuhan yang padahal tak pernah meninggalkanku.

Tegukan keempat. Kini tentang sebuah pengharapan sebagai seorang manusia. Aku lebih percaya berharap pada manusia. Aku lupa tentang Tugas Tuhan yang diberikan padaku sebagai manusia juga. Bahwa Tugasku di dunia ini sebagai manusia dan kepada manusia adalah hanya sebatas memberi, jangan pernah untuk meminta. Karena yang pantas diminta, hanyalah Tuhan. Mengerti? Jadi mulai dari sekarang, sudahlah hentikan berharap pada sesamamu, mintalah yang banyak pada Tuhan-Mu. Bukankah Tuhan yang mempunyai setiap isi dunia ini? Kenapa kita bersikeras meminta pada mereka yang sama menghamba pada Tuhan?

Tegukan kelima. Aku mulai bangkit dari renunganku. Melihat sekeliling lalu tersenyum. Dimanapun aku berada, dan ketika aku merasa sendiri ternyata Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Beberapa hadist mengatakan Tuhan lebih dekat dari urat leher. Tuhan bersama orang-orang yang rendah hati dan selalu memberi. Tuhan bersama orang-orang yang ikhlas. Tuhan bersama dengan orang-orang yang mau belajar. Tuhan bersama orang-orang yang melakukan silaturahmi. Tuhan bersama orang-orang yang menebar kebaikan. Tuhan bersama orang-orang yang berkasih sayang. Tuhan bersama orang-orang menomorsatukan-Nya.

Tuhan bersama orang-orang yang lupa juga terhadap Tuhan. Tuhan bersama para penjahat. Tuhan bersama para pembunuh. Tuhan bersama para perampok. Tuhan bersama gelandangan dijalan. Tuhan bersama dengan presiden di rapat paripurna. Tuhan bersama orang-orang yang berjihad melawan kedzaliman. Dan seterusnya, Tuhan selalu bersamaku pada secangkir kopi. Aku akan kerjasama, sama Tuhan. Itu lebih nyata!

 

Tegukan keenam. Kopiku habis.

*Foto Dokumen Pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun