Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kualitas Film "The Flower of Wars" Mengemas Solidaritas Papan Atas

10 Mei 2020   00:06 Diperbarui: 10 Mei 2020   00:08 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot YouTube: MoviemanicsDE

Hampir semua orang gemar menonton film. Gimana nggak? Beragam jenis film yang disuguhkan oleh perusahaan film memiliki nilai tawar dan keunikannya masing masing. Paling tidak dengan menonton film kita bisa melupakan sejenak rutinitas ataupun masalah. Tersebab kita terbawa dalam dunia baru. Belum lagi jika disuguhkan dengan aktor atau aktris favorit kita. Beuuh, abang baso dan somai yang lewat depan rumah pun dicuekin.

Dan aku termasuk penikmat film bergenre action, fiksi ilmiah, sejarah  dan dokumenter, juga adventure. Untuk drama mungkin sedikit selektif, karena kalau tak seru, semacam membuang- buang waktu saja. Bagiku "Time is produktif". Eaaaa..

Screenshot YouTube: MoviemaniacsDE
Screenshot YouTube: MoviemaniacsDE
Nah, aku cukup excited ketika melihat tantangan kompasiana dalam event Samber 2020 hari 13. Tema film tentang solidaritas ini sangat layak diangkat. Selain memberi spirit baru ditengah wabah pandemi. Bisa menuliskan sesuatu yang paling berkesan bagi diri kita pribadi, insyaallah menjadi  kepuasan dan kenikmatan tersendiri. Apalagi bisa nongkrong jadi artikel utama. Menghayal sedikit boleh yah? Hehe..

Bicara soal film solidaritas yang paling berkesan, masing masing kita tentu punya sudut pandang yang berbeda. Di Indonesia ada Film Laskar Pelangi, ada film Hayya. Bahkan Film Holywood, Bolywood, dan film asing lainnya juga banyak menghadirkan film tentang  solidaritas.

Kali ini aku tertarik mengupas film sejarah bertema action kolaborasi drama percintaan yang diperankan oleh aktor kawakan hollywood Cristhian Bale daaam film The Flowers Of War.

Menurutku film ini sangat unik dengan alur cerita yang tidak mudah ditebak. Ketika film bertema perang umumnya menawarkan drama di antara para prajurit dengan beragam rasa takut, bimbang, kerinduan kepada keluarga, dan solidaritas.

The Flowers of War justru menonjolkan sisi yang tak biasa dieksplorasi di layar lebar. Ada banyak sisi yang tergambar di sepanjang alur cerita. Ada sisi ketakutan yang dihadapi oleh warga sipil, khususnya kaum hawa. Mereka dipaksa berani menghadapi intimidasi dari para prajurit yang tidak hanya menjajah negaranya, tetapi haus untuk menzalimi sekaligus memperkosa mereka.

Ada rasa geram. Ada tegang. Ada rasa pilu yang tak bisa diungkai dengan kata-kata. Yah, dalam sejarah film tentang perang dan solidaritas  yang pernah kutonton selama ini. Film ini kategori film cerdas diwarnai drama-sejarah yang penuh dengan adegan yang sulit dicerna.

Ettapi, bukan berarti film ini sukar dipahami dan dimengerti. Melainkan setiap adegan yang disuguhkan penuh teka teki dan rasa penasaran tingkat tinggi. Ketika aku menclba menebak A. Yang terjadi justru B.

Suguhan adegan yang terkesan horror dan kejam harus dihadapi para wanita Nanjing semasa pendudukan Jepang.

Para wanita itu sama sekali tidak boleh terlihat jika tidak ingin dikejar dan diperkosa secara bergilir oleh tentara Jepang. Pada sesi ini, jujur saja emosiku sebagai perempuan muslimah seolah diaduk-aduk.

Bahkan lebih seramnya, jika pun ada diantara mereka yang berhasil kabur atau nekad menantang balik sudah pasti terbunuh secara brutal. Yang sadisnya, para prajurit itu tega membunuh selama proses pemerkosaan berlangsung. Bagian ini aku sudah berada dibalik bantal.

Nah, Cristhian Bale yang menjadi pemain utama dalam film ini. Terlihat unik karena menjadi satu-satunya pemain berwajah bule.
Makin lengkap karena aktingnya pun terlihat sangat bagus. 

Transisi dari perawakan Bale yang semula berjambang lebat dan seorang pemabuk. Kemudian seolah tertuntut keadaan dan rasa solidaritas Bale seketika menjadi pahlawan yang sangat piawai dengan segala keahlian yang dimilikinya.

Yang membuatku terbawa arus cerita film ini, juga kebolehan akting pemain pendukung yang ada dalam film ini. Tak sedikitpun aku melihat peran yang garing atau tidak penting. Semua dibawakan dengan sangat baik, tentu saja disertai adegan penuh tangis dan kesedihan. Alhasil, aku terpana.

Di sisi lain film diisi dengan dinamika hubungan antara para pelacur dengan para siswi yang berawal buruk dan penuh prasangka, pergumulan yang dihadapi George (Tianyuan Huang anak asuh sang mendiang pastur Katolik untuk menjaga kedamaian gereja dan melindungi para siswi, juga perjuangan John dalam mencari jalan menuju kebebasan, begini kisahnya.

Film The Flowers Of War ini mengambil setting ditengah pendudukan tentara Jepang di Nanking pada Tahun 1973. Yang dipusatkan di sebuah gereja. Seorang warga Amerika bernama John Miller (Christian Bale) yang berperan sebagai pengusaha pemakaman, datang ke Nanking untuk mengubur seorang pastur. 

Pastur ini adalah yang bertanggung jawab terhadap gereja tersebut. Saat Jhon tiba disana ia malah menemukan 14 siswi biara yang bersembunyi dalam gereja bersama George (Huang Tianyuan), seorang remaja yang menjadi asisten pendeta dan diminta menjaga para siswi.

Para remaja itu ketakutan bila suatu saat tentara Jepang menyerbu masuk ke gereja dan akan memperkosa mereka oleh tentara Jepang mencari perempuan atau anak-anak untuk melampiaskan nafsu mereka.

Tak lama kemudian, datang pula lama  sekelompok pelacur flamboyan ke gereja tersebut. Mereka sedang mencari perlindungan dari tekanan penjajah yang menguasai wilayah mereka. Pada saat itu warga dan institusi asing tidak disentuh oleh tentara Jepang. Maka wanita-wanita tersebut mencari perlindungan di balik John, dan memintanya untuk membawa mereka keluar dari Nanjing.

John menjadi bingung karena 15 perempuan penghibur dari rumah bordil di "distrik merah" Nanjing menawarkan imbalan yang menarik.

Dengan kecerdasan dan kepekaan tinggi gang dimilikinya. John menolak permintaan tersebut dan menghabiskan sisa hari dengan minuman keras.

Ia meyakini setiap saat bahaya yang mengintai di luar gedung gereja, akan mencelakainya. Di sisi lain para siswi yang dipimpin oleh Shu (Zhang Xinyi) tidak menyukai kehadiran para perempuan penghibur yang menurut mereka membuat gereja kotor. 

Tapi pemimpin perempuan penghibur itu, Yu Mo (Ni Ni), berusaha menenangkan teman-temannya menjaga sikap selama menumpang di gereja.

Sayang saat mereka mengira gereja sebagai tempat yang aman, tentara Jepang malah mendobrak masuk dan mengejar-ngejar para siswi untuk melampiaskan nafsu mereka, apalagi karena mereka dianggap masih perawan.

Di luar dugaan Shu mau mengalihkan perhatian tentara Jepang dari ruang bawah tanah yang menjadi tempat persembunyian sementara para perempuan penghibur akhirnya berlarian di dalam gereja untuk menghindari kejaran tentara Jepang.

Menariknya, pada saat sekelompok tentara Jepang datang dan mencari wanita-wanita untuk diperkosa.  Keputusan Jhon seketika berubah. Jiwanya seolah terpanggil untuk menyelamatkan para siswa putri tersebut. Manakala para pelacur berhasil melarikan diri ke tempat perlindungan di bawah gereja. Semacam ruang bawah tanah begitu.   Murid-murid gereja tersebut justru berhasil ditangkap prajurit Jepang.


Dan John yang tanpa sadar telah mengenakan jubah pastur, tiba-tiba tersentak bangun oleh kericuhan yang terjadi di luar kamar tidurnya.

Ia tampak cemas dan ketakutan. Bingung apa yang akan dilakukan. Setelah beberapa saat mencari tempat berlindung di dalam lemari pakaian sang pastur.

John tersadar bahwa ia sedang mengenakan jubah pastur. Saat itulah ia seolah mendapatkan ide. Jiwa pahlawannya muncul. Dan nekad  melindungi murid-murid gereja yang hendak diperkosa.

John berhasil mengumpulkan keberanian dan membawa bendera palang merah besar serta meneriakkan bahwa gereja adalah rumah Tuhan dan tidak pantas tentara Jepang menyerbu ke sana. 

Celakanya, sama sekali tidak diindahkan oleh tentara Jepang. Tak sedikit diantara murid murid berpakaian lengkap itu yang dibunuh secara menggenaskan didepan mata John.

Hingga akhirnya ditengah cerita ada seorang sniper tentara China yang kebetulan menitipkan temannya yang sudah terluka di gereja tersebut naik pitam.

Ia mengamuk dan mulai membunuh satu persatu dan memancing tentara Jepang keluar dari gereja. 

Adegan serangan sniper tersebut merupakan satu-satunya aksi baku tembak yang mewarnai film ini. Tentu saja dengan kemasan yang sangat menarik.

Adegan demi adegan terus berlanjut hingga penonton diajak untuk merasakan ketakutan dan kebencian terhadap kebuasan tentara Jepang  mengejar para murid.

Sungguh, pada titik ini aku mulai puas dan penasaran. Aksi tentara China ini menjadi padanan yang waawww keren dan melegakan.
Lega ketika mereka berdua berusaha menjebak tentara-tentara Jepang itu di luar gereja sehingga para siswi dan perempuan penghibur bisa selamat, meski dua siswi akhirnya tewas.

Seorang perwira Jepang, Kolonel Hasegawa (Atsuro Watabe) mendatangi gereja dan meminta para siswi untuk bernyanyi.

Awalnya Hasegawa berbaik hati memberikan cadangan makanan namun kemudian ia meminta para siswi datang ke markas Jepang untuk merayakan kemenangan mereka di Nanjing.

John menolak dengan alasan keselamatan para siswi, tapi Hasegawa berkeras bahwa permintaan itu adalah perintah atasannya, yang bahkan menempatkan tentara menjaga kompleks biara agar para siswi tidak kabur.

John berupaya memutar otak agar mereka dapat kabur dengan bantuan ayah Shu, Mr. Meng (Cao Kefan), yang menjadi antek tentara Jepang demi menyelamatkan anaknya guna mendapatkan surat izin keluar kota sambil memperbaiki truk yang ada di gereja.

Para siswi yang dipimpin oleh Shu sudah pesimistis dan ingin bunuh diri walau akhirnya berhasil dicegah oleh John, Yu Mo dan perempuan penghibur lainnya.
Yu Mo berhasil meyakinkan Shu dan kawan-kawan bahwa Yu dan perempuan penghibur lain bersedia bertukar peran untuk datang ke markas Jepang, meski ide itu mendapat tantangan dari rekan-rekan Yu.

Momen yang paling menyentuh adalah saat para wanita penghibur di Nanjing, bersedia menggantikan sejumlah mahasiswi yang diminta untuk "menemani" tentara Jepang.
Film "The Flowers of War" besutan sutradara kawakan Zhang Yimou, yang sebelumnya membuat "Hero" ini sungguh menggugah hati nurani kita. 

Dalam film berdurasi 146 menit itu, Zhang Yimou bertutur tentang bagaimana semangat kemanusiaan ditampilkan pada masa perang.

Film yang berhasil meraih beragam penghargaan dunia ini menghabiskan dana hingga 94 juta dolar AS. Sebut saja nominasi dalam 84th Academy Awards, 69th Golden Globe Awards, dan 6th Asian Film Awards.

Disinyalir film ini juga adaptasi dari film "13 Flowers of Nanjing" karya Geling Yan.

Namun, perlu diingat bahwa film ini tidak cocok ditonton oleh anak-anak. Karena memang Ini bukan film bertema perang biasa yang penuh dengan aksi baku tembak, tetapi menceritakan sebagian duka perang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun