Tanah Absentee merupakan tanah yang tata letak lokasinya berbeda atau berjauhan dengan tempat tinggal sang pemilik. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa "setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan". dengan adanya ketentuan Pasal tersebut telah mengatur dan menjelaskan secara jelas dan tegas bahwasannya dilarang untuk memiliki tanah pertanian secara absentee.
Tanah absentee juga dapat diartikan sebagai suatu kepemilikan tanah pertanian di kecamatan yang berbeda dengan kecamatan tempat tinggal dari si pemilik tanah tersebut. Larangan ini diatur di dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 dalam Pasal 3 yang telah diubah dengan PP Nomor 41 Tahun 1964 dan dalam PP Nomor 24 Tahun 1977. Dalam peraturan ketentuan tersebut telah diatur bahwa kepemilikan tanah pertanian yang dimiliki oleh orang yang berdomisili atau tinggal di luar kecamatan letak tanah adalah dilarang. Apabila tanah menjadi tanah absentee, maka pemilik daripada tanah tersebut harus pindah ke kecamatan tempat letak tanah itu berada ataupun mengalihkan tanah absentee tersebut kepada orang lain yang berada di wilayah kecamatan tempat letak tanah tersebut berada.
Tujuan dari adanya larangan tanah absentee adalah untuk memberikan hasil pertanian agar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah pertanian tersebut berada. Selain itu, dengan adanya larangan tanah absentee ini diharapkan hasil daripada tanah pertanian tersebut dapat dimanafatkan secara maksimal bagi pemilik tanah tersebut dan masyarakat pedesaan setempat.
Berdasarkan ketentuan diatas, terdapat beberapa pengecualian diantaranya adalah:
- Mereka yang berdomisili di kecamatan yang berbatasan dengan letak tanah tersebut dann dipandang masih mungkin dan mampu untuk mengusahakan tanahnya secara aktif;
- Mereka yang sedang menjalankan tugas negara ataupun yang sedang menuaikan kewajiban agama; serta
- Pegawai negeri dan ABRI, pensiunan, janda pegawai negeri dan janda pensiunan selama mereka belum menikah lagi dengan yang bukan pegawai negeri atau pensiunan
Pengecualian bagi pegawai negeri dan pensiunan diatas adalah untuk pemilikan tanah pertanian yang secara absentee dan sudah terjadi hingga 24 september 1961, setelah tahun 1961, terdapat pengecualian tanah absentee apabila:
- Tanah pertanian yang diperoleh dari hasil warisan dan hibah waris;
- Pegawai negeri atau pensiunan yang membeli tanah dan berakibat memiliki tanah absentee, dan pembelian ini dilakukan sebelum 2 tahun menjelang pension; dan
- Kepemilikan secara absentee dikarenakan perolehan hibah ataupun karena pembelian 2 tahun sebelum pension ini hanya dibatasi pada maksimal 2/5 dari luas maksimal untuk daerah yang bersangkutan
Pada dasarnya semua bentuk peralihan hak baik yang disebabkan karena peristiwa hukum ataupun perbuatan hukum yang mengakibatkan pemilikan tanah absentee adalah dilarang. Larangan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3d PP Nomor 41 Tahun 1964 yang menyatakan "dilarang untuk melakukan semua bentuk pemidahan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan di mana ia bertempat tinggal".
Lalu bagaimanakah terkait dengan tugas PPAT, apakah PPAT tetap diperbolehkan membuat akta apabila tanah tersebut merupakan tanah absentee?
Jawaban mengenai pertanyaan tersebut adalah PPAT wajib menolak untuk membuat akta berkaitan dengan tanah tersebut. PPAT wajib menolak dikarenakan hal ini sudah diatur secara jelas dan tegas dalam Ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf g PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah yang menyatakan "PPAT menolak untuk membuat akta, jika g. tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan yang bersangkutan".
Berdasarkan pernyataan diatas, maka akan timbul pertanyaan mengenai bagaimanakah dengan peralihan hak kepemiikan tanah karena Lelang? Serta Langkah apa yang harus dilakukan, jika pembeli (pemenang lelang) berasal dari kecamatan yang berbeda dengan kecamatan tanah hasil lelang?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Lembaga Lelang tersebut wajib memperhatikan domisili perserta lelang yang mengikuti proses lelang tersebut. Peserta lelang tersebut haruslah dari domisili yang sama dengan letak tanah tersebut berada. Serta apabila pemenang lelang tersebut berasal dari kecamatan yang berbeda, maka pemenang lelang tersebut wajib memilih yaitu pindah ke kecamatan Lokasi tanah, atau akan mengalihkan tanah hasil lelang tersebut kepada seseorang (subjek hukum) yang berdomisili sama dengan keberadaan kecamatan letak tanah tersebut berada.
Kesimpulan menurut hemat penulis dalam hal ini adalah memiliki tanah pertanian di kecamatan yang berbeda dengan kecamatan tempat tinggal pemilik tanah adalah suatu hal yang dilarang. Hal ini dilarang karena tanah tersebut menjadi tanah absentee. Dalam praktiknya larangan ini menurut ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku terdapat pengecualian. Pemilik tanah yang absentee haruslah memilih apakah dirinya akan ikut pindah ke kecamatan lokasi tanah tersebut berada atau mengalihkan hak kepemilikan tanah tersebut kepada seseorang yang berdomisili sama dan setempat dengan letak tanah tersebut berada.
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
PP Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian
PP Nomor 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian
PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI