Mohon tunggu...
Verawati Suma
Verawati Suma Mohon Tunggu... Author, Lecturer and Entertain

Saya percaya bahwa ilmu, cerita, dan hiburan bisa berjalan beriringan untuk menciptakan dampak yang nyata. Mengajar adalah panggilan jiwa, menulis adalah bentuk ekspresi, dan menghibur adalah cara saya menjangkau lebih banyak hati.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bu Dilla : Ketika Ambisi Bertemu Rasa Ingin Diakui

7 Mei 2025   14:12 Diperbarui: 7 Mei 2025   14:12 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sekolah, kita semua datang dengan tujuan yang (seharusnya) sama: MENDIDIK. Tapi, setiap orang membawa cara yang berbeda dalam menapaki jalan itu. Ada yang tenang dan penuh empati. Ada juga yang, seperti Bu Dilla percaya bahwa untuk diakui, seseorang harus selalu terlihat unggul.

Bu Dilla adalah tipe guru yang sulit untuk tidak diperhatikan. Gaya bicaranya penuh percaya diri, penampilannya selalu rapi, dan langkahnya mantap seolah dunia ada dalam kendalinya. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang kadang terasa... berat. Seperti ada beban tak terlihat yang terus dia bawa.

Antara Prestasi dan Perbandingan

Bu Dilla suka bercerita tentang pencapaiannya, murid-muridnya yang berhasil, bahkan seminar dan pelatihan yang pernah dia ikuti. Kadang kita mendengarnya sambil tersenyum, kadang sambil menahan napas, karena sesekali ada kalimat yang menyiratkan perbandingan.

Misalnya saat seorang guru muda dipuji karena cara mengajarnya yang inovatif, ia mungkin berkomentar,

"Saya dulu juga pernah begitu, tapi pengalaman akhirnya yang paling penting."

Bukan karena dia ingin merendahkan, mungkin. Tapi karena dia ingin diingat, dianggap penting, dihargai.

Suaminya, dan Cerita yang Selalu Muncul

Dalam banyak percakapan, nama Pak Hendra suaminya sering disebut. Katanya, beliau adalah pejabat. Dan kadang, cerita tentang Pak Hendra menjadi pembuka untuk menunjukkan bahwa posisi Bu Dilla bukan sembarangan.

Sebagian dari kami awalnya bertanya-tanya, "Kenapa ini penting dibicarakan?" Tapi lama-kelamaan kami sadar: mungkin itu adalah caranya merasa aman. Merasa punya pijakan yang kokoh saat dunia terasa kompetitif.

Lingkaran yang Terbentuk

Bu Dilla punya sahabat-sahabat dekat di ruang guru. Mereka sering terlihat bersama, berbagi cerita, bahkan membuat keputusan kecil yang kadang terasa menutup kesempatan bagi guru lain yang dianggap 'berbeda'.

Tapi mungkin itu adalah bentuk dari rasa takut. Takut tersaingi. Takut tidak lagi jadi pusat perhatian. Dan meski kadang terasa menyakitkan bagi yang berada di luar lingkaran itu, kami belajar untuk tidak selalu membalas dengan hal yang sama.

Pelan-Pelan, Kita Belajar Memahami

Bu Dilla bukan tokoh jahat. Dia hanya manusia. Seperti kita semua, dia punya luka, keinginan untuk diakui, dan cara sendiri dalam menghadapi dunia.

Kami belajar untuk tidak selalu menanggapi dengan marah. Tapi juga tidak harus menyetujui semua hal.
Kami belajar membangun ruang aman di antara kami sendiri---yang tulus, saling mendukung, tanpa harus bersaing soal siapa yang lebih layak disukai.

Karena pada akhirnya, dunia pendidikan bukan panggung perlombaan. Ini adalah ruang untuk tumbuh bagi murid, dan juga bagi guru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun