Mohon tunggu...
Veraditias Apriani
Veraditias Apriani Mohon Tunggu...

Sedang belajar...

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ketika Tempat Wisata Terlalu Ramai, Kadang Tak Seru Lagi

15 Januari 2019   10:39 Diperbarui: 16 Januari 2019   00:27 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: instagram.com/pasarpapringan

Wisata alam akhir-akhir ini lebih digandrungi masyarakat, terutama para generasi milenial yang memburu momen instagrammable. Daerah-daerah yang memiliki potensi keindahan alam pun, banyak yang memanfaatkannya menjadi objek wisata.

Selain menambah pendapatan daerah, edukasi, dan melestarikan alam, juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar dengan menjajakan dagangan mulai dari makanan, minuman, hingga kerajinan tangan.

Ketika objek wisata baru saja dibuka, maka promosi tentu akan begitu gencar. Sehingga para traveller kadang lebih tergiur mengunjungi tempat yang belum terjamah banyak orang.

Namun semakin terkenal objek wisata, semakin ramai pengunjung, maka pengelola tempat tersebut juga harus siap jika suatu hari akan bekerja ekstra. Hal ini saya alami ketika mengunjungi Pasar Papringan di Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.

Tak usah ditanya lagi, sudah banyak orang yang mengetahui bahwa Pasar Papringan adalah objek wisata menarik yang memanfaatkan hutan bambu disulap menjadi pasar.

Pasar ini pun menjunjung kearifan lokal dengan menjajakan dagangan dari masyarakat sekitar berupa makanan tradisional, kerajinan tangan, dan hasil pertanian maupun peternakan. Selain itu, mata uang untuk jual beli di pasar ini menggunakan pring (bambu), bukan uang rupiah seperti yang biasa kita gunakan.

uang pring (sumber: dok. pribadi)
uang pring (sumber: dok. pribadi)
Keunikan Pasar Papringan ini -- apalagi tempatnya di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro, menyebabkan pengunjung penasaran. Belum lagi tempat ini hanya dibuka tiap Minggu Wage dan Minggu Pon. Semakin berjalannya waktu, Pasar Papringan mulai sangat ramai.

Bayangkan, yang awalnya buka jam 6 pagi dan tutup jam 12 siang, kini bisa jam 9 sudah nyaris tidak ada apa-apa. Alasannya, barang dagangan sudah habis-habisan. 

Ya, pengunjung tiba-tiba membludak tidak karuan. Tempat parkir yang memanfaatkan lapangan, lahan kosong, maupun halaman rumah warga itu pun sudah dipenuhi mobil-mobil dan motor yang sebagian besar berplat nomor luar kota.

Tak heran juga jika jalanan kampung dengan hamparan sawah di kanan kirinya juga ikut menjadi lahan parkir. Bahkan, jalanan aspal -- meski bukan jalan utama -  pun macet panjang.

Jangan berharap mudah untuk menerobos meski naik sepeda motor. Saya waktu itu datang pukul 08.00 pagi saja jalan sudah penuh. Ruas kiri dipenuhi mobil dan motor, sementara ruas kanan ikut memadat oleh pengunjung yang tak sabar ingin saling mendahului.

Menjelang sampai parkiran, saya melihat petugas sudah kewalahan. Bingung mau ke mana lagi meletakkan kendaraan-kendaraan yang bahkan masih bercecer di jalanan aspal. Semakin siang, semakin banyak wisatawan berdatangan. Sementara pengunjung yang sudah lebih dulu masuk Pasar Papringan pun, belum menunjukkan tanda-tanda ingin keluar.

Saya akhirnya dapat tempat parkir di halaman rumah warga. Ternyata banyak juga pengunjung bermobil yang kurang sabar menunggu kemacetan sehingga memilih memarkir kendaraan di pinggir jalan dan jalan kaki memasuki tempat wisata.

Sebetulnya ada tukang ojek, namun agaknya kesulitan juga menerobos kerumunan kendaraan di jalan kampung yang kalau dilewati dua mobil, salah satu harus minggir mengalah terlebih dahulu.

Jam setengah 9 saya sudah mulai memasuki pasar. Dan luar biasa. Antrian pengunjung di tempat menukar uang pring amaaaaat panjang. Hingga ketika selesai membeli satu set uang pring dengan harga 20.000 isi 10 itu, saya pun bersiap membeli makanan favorit yang sudah saya rencanakan dari rumah.

Rupanya di sini pun padat. Belum lagi yang masih mengantri macet di jalan dan tidak bisa masuk. Deretan penjual makanan saya jelajahi satu persatu. Mereka tak terlihat karena tertutup pengunjung. Dan ketika menyeruak kerumunan, ternyata dagangan warga sudah habis-habisan.

Jajanan pasar, sudah habis. Ibu-ibu penjualnya bahkan sedang menghitung pendapatan dari uang pring. Bersiap disetor ke penukaran uang lagi karena katanya cadangan uang pring di tempat penukaran uang sudah habis.

Makanan berat pun sudah habis. Dawet dan minuman lain bahkan sudah tak ada cadangan lagi. Uang pring saya masih utuh. Sedikit kecewa karena belum dapat apa-apa.

"Bu, kupat tahunya saya satu dong, Bu. Nggak pakai tahu sama sayurannya nggak pa-pa." Salah seorang pengunjung sampai memaksakan diri membeli makanan yang ia inginkan. Kalau kupat tahu tanpa tahu, itu artinya hanya kupat dan bumbu kacang. Duh.

Saya lalu mengunjungi penjual jagung bakar yang dengar-dengar masih banyak stok. Ya memang betul, tapi antrian pembeli pun jangan ditanya sebanyak apa. Sampai akhirnya, pring saya hanya berkurang satu untuk membeli kue lemet singkong. Satu-satunya jajanan pasar masih ada stoknya.

Setelah itu saya beralih ke  bagian penjual kopi dan wedang pring karena penasaran dengan wedang pring ini. Entah masih atau habis, yang pasti, antrian sudah tak bisa diterobos lagi. Kalau mau memburu momen instagrammable pun agaknya kurang memuaskan. Potret sana sini hanya kerumunan orang.

"Sudah nggak ada cadangan ya, Bu?" tanya saya ke penjual gorengan dekat penjual wedang pring karena tampak lengang tak banyak antrian.

"Nggak ada, Mbak. Pengunjungnya mbludak, Mbak. Banyak rombongan dari luar Jawa soalnya."

Saya dan teman saya pun memutuskan untuk pulang. Sudah tak ada apa-apa lagi. Bahkan ketika sampai pada penjual cinderamata dekat pintu keluar, pun seorang bapak-bapak bertanya, "Sudah ndak dapat apa-apa ya, Mbak?"

"Nggih, Pak," jawab saya sambil tersenyum sesopan mungkin meski hati kesal.

"Pengunjung ndak seperti biasanya, Mbak. Tempat saya aja Minggu besok pas buka lagi, sudah ada yang pesan gantungan kunci banyak. Lha saya jadi harus produksi lebih banyak lagi."

Pukul 9 saya mulai meninggalkan Pasar Papringan. Lagi-lagi jangan ditanya. Kalau masuk saja susah, keluar rupanya semakin susah. Kendaraan-kendaraan yang sudah terparkir di dalam, susah untuk keluar karena masih banyak antrian yang akan masuk.

Sungguh kasihan para wisatawan dari luar kota. Belum juga masuk, pasar sudah habis-habisan. Para penjual pun tak ada yang menambah stok ketika saya tanya. Meski masih pukul 9 sementara seharusnya tutup jam 12.

Hal ini menjadi evaluasi bagi pengelola dan juga para pedagang supaya pada bukaan selanjutnya, stok dagangan ditambah lagi untuk antisipasi agar tidak 'kaget' ketika pengunjung membludak. Selain itu, tempat parkir juga mungkin dapat diatur serapi mungkin supaya jalanan tidak macet berkepanjangan.

Bagi wisatawan sendiri, ada baiknya memperkirakan waktu kunjungan ke sana. Apabila dari luar kota, bisa kita perkirakan sendiri sampai Pasar Papringan jam berapa. Jika sudah sekitar jam 8 atau 9, lebih baik beralih tujuan.

Atau bisa juga sebelumnya merencanakan untuk menginap dengan koordinasi pada pengelola. Pengelola bahkan sudah menyediakan contact person apabila ada rombongan yang ingin reservasi terlebih dahulu.

Kadang ketika tempat yang kita kunjungi terlalu ramai dan padat, meski sudah datang jauh-jauh, jadi tak seru lagi dan sedikit mengubah suasana hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun