Mohon tunggu...
Vera
Vera Mohon Tunggu... Mahasiswa - ganbatte kudasai!

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Yuk, Mengenal Toxic Masculinity yang Mengakar di Masyarakat

10 Maret 2021   14:52 Diperbarui: 10 Maret 2021   15:34 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : chrysalisfdn.org - https://www.chrysalisfdn.org/shematters/toxic-masculinity/

Cowo kok nangis, cowo kok skincare-an, cowo kok gabisa main bola.

Mungkin kalian pernah atau bahkan sering mendengar hal seperti itu bukan?  Itulah beberapa contoh Toxic Masculinity.

Apakah kalian setuju jika seorang laki-laki tidak boleh nangis?

Apakah kalian setuju jika seorang laki-laki itu harus bisa bermain bola?

Mengapa hal-hal seperti itu bisa terjadi di masyarakat?

Hal tersebut lahir dari stigma yang terbangun di masyarakat bahwa seorang laki-laki dianggap harus gagah, macho, tidak boleh lemah, dan lain-lainnya yang terkadang malah melupakan hak seorang laki-laki sebagai manusia. Bagi beberapa orang yang tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut, maka akan dipandang rendah ataupun mendapatkan olokan-olokan dari lingkungannya dan dapat berakibat buruk.

Lalu, definisi sebenarnya dari Toxic Masculinity itu apa sih?

Toxic Masculinity adalah fenomena terhadap laki-laki yang dituntut untuk bersikap laki banget atau maskulin dan menghindari  hal yang dapat mengurangi maskulinitasnya demi menghindari stigma 'laki-laki lemah' yang terbangun di masyarakat.

Menurut psikolog Inez Kristanti dalam Whiteboard Journal, istilah Toxic Masculinity ini muncul dari sosialisasi-sosialisasi peran gender sejak kecil. Jadi, saat seorang anak tumbuh, ada namanya sosialisasi peran gender. Misalkan kalau wanita itu disosialisasikan dengan gender feminine, dan yang laki-laki dengan gender maskulin. Jadi, dari situ masyarakat kita mempelajari cara berperilaku, budaya-budaya yang ada, dan juga mewariskan sesuatu yang sudah ada turun temurun, termasuk bagaimana cara memperlakukan laki-laki dan juga perempuan.

Toxic Masculinity ini pun mengakar kuat pada lingkungan pergaulan dan dijadikan bahan bercandaan atau bahkan olok-olokan jika ada seorang yang tidak dapat memenuhi standar yang terbangun selama ini.

Berdasarkan wawancara saya dengan seorang teman saya yang menjadi korban Toxic Masculinity ini, dia mengatakan bahwa dia tidak bisa bermain bola dan hal itu dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya yang lain. Itu menimbulkan rasa tidak percaya diri pada dirinya karena tidak bisa memenuhi standar sebagai laki-laki yang ditetapkan oleh masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun