Mohon tunggu...
Venansius
Venansius Mohon Tunggu... Guru - Guru, Musisi, dan Budayawan

Guru, Musisi, Budayawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hayat Waria

19 Oktober 2021   08:51 Diperbarui: 19 Oktober 2021   08:57 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matanya masih menatap jalanan dari kaca kafe. Kendaraan masih padat, bunyi klakson sering terdengar bersahutan. Dari kaca kafe itu pula ia melihat seseorang melintas jalanan yang padat kendaraan. Seseorang itu menuju kafe dimana Waria duduk memandangi jalan sambil menikmati segelas brendy dan sebatang rokok yang hampir habis terselip di jarinya.

“Maaf, lama menungguku”.

Waria masih memandangi jalanan yang padat serta bermain dengan pikirannya. Waria mengembalikan seluruh ingatan pada masa lalu yang membuatnya begini. Mengapa ia diberi nama Waria jelas dalam benaknya. Waria benci pada mereka yang memberi nama itu, ia benci pada mereka yang memanggilnya, ia benci pada diri sendiri.

“Mengapa kau memanggilku, Waria?”

Waria seakan-akan tak mendengarkan apa yang diucapkan tamunya. Ia sibuk menikmati jalanan padat ditingkah lampu rambu-rambu lalu lintas yang mengatur kelancaran kendaraan. Kemacetan terjadi, dan langit terlihat mendung karena kilat telah mulai merobek langit. Sebentar lagi akan turun hujan yang pasti sangat deras sekali. Tapi apa pun yang terjadi, mereka yang terperangkap kemacetan tidak akan bisa berbuat banyak selain sabar menunggu.

***

Waria tahu kalau ia tanyakan pada ibu perihal mengapa dia bernama Waria, ibu akan memukulnya habis-habisan sebelum menjawab pertanyaan. Mengapa? Bukankah dia berhak untuk mengenal hal yang tak dipahaminya? Bukankah penting seseorang tahu hal-hal mengenai diri sendiri?

Waria benar, ketika ia tanyakan hal itu, ibu menarik tangannya menuju gudang rumah lalu mengunci pintu dari luar. Waria berteriak memukul-mukul daun pintu, tapi ibu tak pernah mau peduli. Waria bersandar membelakangi pintu lalu terduduk sambil menangis. Dari dalam ruangan itu sering ia mendengar suara pertengkaran.

“Kau apakan anak itu?”

“Biar saja dia mampus. Terlalu banyak bertanya!”

“Tapi kau yang melahirkannya, bukan?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun