Mohon tunggu...
Venansius
Venansius Mohon Tunggu... Guru - Guru, Musisi, dan Budayawan

Guru, Musisi, Budayawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hayat Waria

19 Oktober 2021   08:51 Diperbarui: 19 Oktober 2021   08:57 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semula, Waria senang dengan namanya. Ketika masih kecil ia menyahut dengan gembira bila namanya dipanggil. Orang-orang yang memanggil namanya pun tertawa ketika nama itu tersebutkan. Waria melihat gelak tawa orang karena namanya, maka dia mengira hanya namanyalah yang bagus, yang bisa menggembirakan orang.

Beranjak remaja, Waria sudah tahu apa arti namanya. Dia tak lagi menyahut dengan gembira sperti dulu orang memanggilnya dengan gelak tawa. Waria sungguh benci mengapa ia dinamai seperti itu. Apakah tidak ada nama lain selain nama itu? Waria pernah melempari teman-temannya karena terus-menerus memanggil namanya dengan bertingkah seperti topeng monyet. Waria benci pada nama itu, benci pada orang yang memberinya, benci pada mereka yang memanggilnya serta benci pada dirinya sendiri.

Pernah Waria ingin bunuh diri karena nama yang semakin membuatnya terhina. Setelah berpikir sekali lagi, Waria memutuskan untuk mengganti namanya. Tapi, nama apa yang cocok untuknya? Dia pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Pikirannya terus merangkai nama-nama yang dia inginkan semisal Wardah, Wanda, Warlan atau Waryamah. Nama-nama itu terlupakan karena Waria terlelap dalam mimpi.

Keesokan harinya, Waria terbangun dan mendapati dirinya kesiangan. Ia bangkit menuju kamar mandi dan membasuh tubuh. Hari sudah sangat siang, matahari pun sudah tinggi. Selesai membersihkan diri, Waria merias wajah di depan cermin. Di hadapannya tergelar berbagai alat kosmetik. Waria menatap kosong koleksinya dan menatap hampa dirinya di hadapan cermin besar itu.

Mengapa namaku Waria? Begitu tanyanya dalam hati. Bukankah aku lelaki? Tapi, kenapa benda-benda ini perlu kumiliki? Matahari sudah di atas kepala sewaktu Waria memikirkan dirinya di depan cermin. Waria memikirkan nasibnya dan air mata mengalir dari matanya membasahi pipi. Ia menangis. Lalu, tiba-tiba dia menyapu dengan tangannya kotak-kotak kosmetik dan perhiasan di atas meja rias. Waria tertunduk pada meja itu dan menangis tersedu. Matahari mendengar tangisan itu.

Dia membuka laci meja rias serta mengambil sebilah belati dari dalamnya. Waria mengangkat tinggi-tinggi belati itu di hadapan cermin besar. Hanya cermin yang melihat Waria hendak menghunus belati di perutnya. Sambil berlinang air mata dan menahan sedu yang dalam, Waria mengucapkan selamat tinggal pada semuanya. Selamat tinggal pada kenangan dan selamat tinggal pada mami Nola. Ya, Waria mengingat mami Nola. Ia mengurung niat bunuh diri.

***

Waria duduk memandangi jalanan yang dipadati kendaraan serta sekelompok muda-mudi yang bercengkerama dengan pasangan masing-masing. Mereka tampak bahagia. Tapi Waria sebaliknya. Dia mengambil sebatang rokok dari bungkusnya lalu menyulut api. Waria menghisap dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat seperti ingin mengusir kejenuhan.

“Pelayan!” Waria menjentikan jari.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”

“Brendy!”. Waria mengacungkan telunjuk, pelayan berlalu. Tak lama setelah itu, palayan kembali membawa sebotol brendy. Waria meneguk segelas brendy sambil menikmati rokok yang terselip di jarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun