Mohon tunggu...
Venansius
Venansius Mohon Tunggu... Guru - Guru, Musisi, dan Budayawan

Guru, Musisi, Budayawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Tuhan

13 September 2021   14:29 Diperbarui: 13 September 2021   14:33 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Musto juga menjelaskan bagaimana laki-laki bertubuh tinggi-tegap merenggut nyawa penjambret di pasar tempo hari. Bukan hanya itu, Musto pun memberitahu gejala Tuhan memperlakukan manusia, salah satunya adalah penampakkan busur di atas awan. Musto menunjuk langit. Ketiganya menengadah. Tapi, sepasang kekasih itu tak melihat sesuatu yang boleh dikira penampakan busur di atas awan selain kumpulan awan gemawan yang memutihkan birunya langit.

Musto tahu mereka tak melihat yang dimaksud. Dari dahulu dia sadar bahwa hanya dia yang bisa melihat tanda seperti itu lalu menerjemahkannya. Bagaimanapun sulitnya diterima hal semacam itu, Musto berusaha menyakinkan bahwa itu bukan mistik melainkan saat dimana setiap manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

Sepasang kekasih itu mencibir dan mengusirnya pergi.

“Pergilah! Lain kali saja kami mendengar omong kosongmu itu”. Pada saat yang sama menggelegarlah langit serta meruntuhkan butiran hujan. Gerimis berimai ketika Musto melanjutkan perjalannya ke puncak gunung untuk bicara pada Tuhan. Dalam perjalanan itu ia mengumpat mengapa begitu cepat ini semua terjadi padahal ia belum berhasil menjelaskan pada semua orang perihal bahwa mata Tuhan memperhatikan apa yang dilakukan orang.

Ketika Musto telah sampai pada puncak gunung, hujan menderas dan deru guntur bertalu-talu. Semua itu adalah gambaran angkara murka. Ia tahu saat yang dinanti tiba. Kiamat menjelang namun ia belum melakukan suatu hal pun. Dan Musto mengangkat tangan dengan muka menghadap langit. Ia berteriak memanggil Tuhan. Setiap kali nama Tuhan disebut, guntur menyahut dan kilatnya menyambar pepohonan ataupun bebatuan di sekitar Musto.

Suara Tuhan tak didengarnya menjawab semua yang ditanya. Ia teriakan pada Tuhan bahwa orang mengatakan ada seseorang yang membunuh-Nya. Tetap tak ada suara Tuhan. Musto menjelaskan pula bagaimana tuduhan orang mengatakan dirinya dipengaruhi mistik. Hanya deru guntur yang mendesing telinga. Musto tak kunjung putus semangat berteriak memanggil Tuhan dan ingin bicara pada-Nya. Gerimis masih berintik-rintik, padahal guntur dan kilat semakin menggelegar.

Namun, sebelum semuanya berakhir, Musto merasa masih punya waktu walau tak banyak untuk meyakini para sahabatnya. Atau setidaknya membawa mereka ke tempat yang aman.

Ia turun dari puncak dan meluncur deras menemui teman-temannya. Andai kata tak berhasil membuat mereka percaya, paling tidak Musto sudah berusaha meyakinkan dan menurutnya usaha itu sudah diperhitungkan Tuhan karena Ia melihat segala yang terjadi. Bukankah mata Tuhan mengetahui apa yang telah dilakukan Musto selama ini.

Setibanya di lereng gunung, dilihatnya sepasang kekasih tadi berlari ke arahnya. Musto pun menyongsong mereka dan tampak terengah-engah seolah dikejar sesuatu yang sangat menakutkan. Memang mereka ketakutan sehingga wajah mereka pucat pasi seperti mayat. Musto bertanya ada apa gerangan sebab ia juga mendengar mereka memanggil-manggil namanya dari kejauhan sambil berlari.

“Ada apa wahai sahabat sehingga kalian seperti melihat setan memakan manusia?”

“Musto, kau benar!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun