Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Allah "Melihat"Manusia dalam Alam

4 Maret 2021   13:58 Diperbarui: 4 Maret 2021   22:36 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia Bahagia karena Cinta


Semua manusia pasti membutuhkan cinta. Cinta menjadi alasan setiap manusia dilahirkan. Kelahiran seorang manusia ke dunia ini mencetuskan cinta Tuhan. Sebab tidak ada yang terlahir tanpa Tuhan yang mencintai. Di mana ada cinta, di situ ada Tuhan (MM, 163). Pernyataan ini mau menegaskan bahwa aktivitas mencintai adalah aktivitas menghadirkan Allah bagi sesama dan alam. Tuhan yang mencintai, dalam hal ini selalu berhubungan dengan eksistensi manusia. Eksistensi Tuhan menjadi nyata ketika manusia mampu mencintai sesamanya (MM, 163). Kehadiran Tuhan dapat dibuktikan melalui aktivitas mencintai yang manusiawi.
Jadi, kebahagiaan manusia terletak pada sejauh mana ia mencintai sesama dan alam. Ketika manusia mampu mencintai sesama dan alam sekitarnya, pada saat itu, ia sedang mencintai Tuhan. Armada Riyanto merefleksikan dengan sangat indah tentang siapakah manusia. Beliau mengatakan:

Manusia adalah dia yang mencintai meski juga membenci. Ia bekerja dengan susah payah. Ia menggapai cita-cita tiada henti meski akhir hidup menjemput sebentar lagi. Singkat kata manusia adalah dia yang mencari, mengejar, menyerahkan diri, bermimpi, dan menciptakan sejarah hidupnya sendiri (MM, 9).

 Lalu pertanyaannya, apa yang dikejar dan diimpikan manusia? Dan bagaimana cara mengejar impian itu? Jawabannya mungkin ada pada judul kecil di atas. Yang dikejar manusia adalah kebahagiaan. Cara mengejar kebahagiaan itu tidak lain dengan hidup dalam cinta. Mengapa harus cinta? Armada Riyanto mengatakan:

Cinta itu indah, karena  di dalamnya manusia berada dalam lautan makna. Cinta memungkinkan manusia memeluk bintang dan bulan. Dan, ia tidak mau melepaskannya. Ia seperti terbang di ketinggian keindahan. Ia membiarkan diri terdampar di ketinggian itu. Karena cinta manusia tampil bagai matahari, bercahaya. Ia bersinar di sekelilingnya (MM, 161).

Cinta itu sesungguhnya kehidupan itu sendiri. Artinya, hidup yang tanpa cinta adalah kematian atau ketiadaan makna. Seperti kata Paulus, “Tanpa cinta, hidup menjadi tidak bermakna”. Cinta selalu membawa serta kebahagiaan. Cinta membuat orang memahami makna hidup. Kebahagiaan orang yang memiliki cinta tidak terletak pada materi atau popularitas. Namun, ia bahagia saat ia mencintai. Kebahagiaan pertama-tama bukan sebuah prestasi atau pencapaian. Kebahagiaan diperoleh ketika manusia melakukan kebaikan “di sini dan sekarang”.


Tentang cinta dan kebahagiaan yang “di sini dan sekarang” (hic et nunc) akan mudah dipahami bila melihat pandangan Thomas Aquinas. Menurut Thomas Aquinas, kebahagiaan identik dengan produk aktivitas virtus (keutamaan) dan bukan kejahatan. Maka aktivitas membela dan mengejar virtus adalah aktivitas yang membahagiakan (MM, 57). Kebahagiaan menurut Thomas Aquinas ini memiliki keterpautan dengan logika “Manusia bahagia karena cinta”. Produk aktivitas yang dimaksud Thomas Aquinas adalah kebaikan dan bukan kejahatan. Kebahagiaan dengan kata lain terletak pada aktivitas itu sendiri (MM, 57).
 Aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas yang menunjukkan kebaikan, misalnya memberi makanan kepada orang yang lapar. Nah, semua kebaikan mutlak didasari pada cinta. Maka manusia yang melakukan aktivitas kebaikan karena cinta, pasti akan mengalami kebahagiaan yang “di sini dan sekarang”.  Dan itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Allah Yang “Melihat”


Fokus uraian  tulisan ini adalah relasi cinta antara Allah, manusia, dan alam. Heidegger menyebut ketiga tema ini sebagai tema sentral dalam filsafat. Mungkin konsep tentang Tuhan a la Kristiani sulit diterima begitu saja oleh filsafat. Sebab, Allah Kristiani cendrung bergerak dalam tataran iman, sedangkan filsafat melulu nalar. Namun, Plato - seorang filsuf besar - pernah mengajarkan bahwa jiwa manusia selalu bergerak kepada Kesempurnaan (MM, 14). Thomas Aquinas menerjemahkan kesempurnaan yang dimaksud Plato sebagai Allah.


Seperti yang telah dijelaskan tadi, Allah yang “melihat”  di sini, mau mengatakan ke-Mahakuasa-an Allah. Ke-Mahakuasa-an Allah selalu berlaku atas apa dan siapa pun. Dalam ke-Mahakuasa-an Allah itu, Manusia – dengan imannya- “berelasi” dengan Allah. Berkaitan dengan ini, Armada Riyanto mengatakan:

Awal sejarah adalah dari Allah. Akhir sejarah adalah di dalam Allah. Dan begitulah sejarah manusia adalah sejarah keselamatannya di dalam Allah. Jadi, awal dan akhir sejarah adalah Allah, pandangan ini mengukir kebenaran bahwa Allah adalah Dia yang menyejarah. Allah tidak mungkin dipikirkan sebagai seolah garis “start” dan kemudian berpindah menjadi garis “finish”. Allah pastilah bukan “garis”. Melainkan, Ia hadir dan menyejarah dalam sejarah manusia. Bersama-sama manusia, Allah adalah penyusun sejarah dan mengarahkan geraknya menuju kepada diri-Nya (MM, 23).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun