Mohon tunggu...
velmaanindya
velmaanindya Mohon Tunggu... Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kolonialitas Gender dalam Genosida di Palestina

17 Oktober 2025   11:02 Diperbarui: 17 Oktober 2025   11:02 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah 108 tahun sejak Deklarasi Balfour dikeluarkan. Artinya, sudah tidak terhitung lagi berapa menit dan detik raungan permintaan tolong telah terdengar dari Palestina. Sudah 108 tahun tanah dan identitasnya terjajah oleh tangan-tangan yang penuh darah, Israel. Pemandangan yang seharusnya tidak lazim seketika menjadi suatu hal yang biasa untuk dilihat, seperti darah, reruntuhan bangunan, serta mayat yang berserakan dengan potongan tubuh yang tersebar, dari warga Palestina. Teriakan dan tangisan telah lebih dari seabad terdengar. Namun, di mana kah mereka yang berdiri untuk kedamaian dan keadilan, terutama bagi perempuan Palestina? Apakah kini kedamaian hanyalah sebuah mimpi?

Pilar Kedamaian Seketika Tidak Berdaya

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibuat pada tahun 1945 sebagai respons atas Perang Dunia ke-2 yang memakan banyak korban untuk menjamin perdamaian dunia agar terjaminnya masa depan untuk generasi selanjutnya. Dilansir dari lama UN, terdapat beberapa cara PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional, seperti diplomasi preventif dan mediasi, operasi penjaga perdamaian, kegiatan pembangunan perdamaian, penanggulangan terorisme, serta perlucutan senjata. Dengan demikian, idealnya, PBB memiliki kapabilitas untuk menangani dan menghentikan genosida yang terjadi di Gaza dengan sumber daya yang mereka miliki, seperti dengan melalui United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), Office for The Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), dan Office of The Hight Commissioner for Human Rights (OHCHR)

Namun, kenyataan tak seimbang dengan harapan. Meskipun telah mengeluarkan resolusi serta upaya gencatan senjata, PBB memiliki hambatan dalam menghentikan kejahatan di Gaza. Akram (2024) mengatakan bahwa ketidakseimbangan kekuatan struktural dalam sistem PBB menjadi salah satu penyebabnya. Terdapat beberapa negara yang memiliki hak veto—terkhususnya Amerika Serikat—sehingga upaya untuk mengehentikan genosida sering kali terhambat. Bahkan, AS setidaknya telah menggunakan hak veto sebanyak 34 kali untuk membatalkan resolusi yang diajukan oleh Dewan Keamanan PBB. Hal ini membuat PBB sulit untuk melakukan intervensi dalam genosida yang terjadi mengingat Dewan Keamanan yang berwenang untuk melakukan hal tersebut seketika dibuat tidak berdaya ketika dihadapkan dengan negara adikuasa.

Palestina dalam Lensa Pemimpin Dunia Ketiga: Antara Namibia dan Indonesia

Beberapa minggu lalu, Sidang ke-80 Majelis Umum PBB diadakan untuk membahas mengenai isu mendesak yang memengaruhi dinamika sosial-politik di dunia internasional. Salah satu isu mendesak adalah genosida di Gaza yang dilakukan oleh Israel. Sekitar 193 negara hadir melalui representasi-representasinya untuk berpendapat mengenai situasi yang terjadi dalam dunia internasional, seperti Namibia dan Indonesia. Perbandingan posisi kedua negara tersebut terhadap genosida di Gaza penting dilakukan mengingat kedua negara yang mengalami tragedi yang sama, yaitu penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat. Mereka yang diopresi, idealnya juga akan menentang keberadaan opresor.

Indonesia, melalui Presiden Prabowo Subianto mengajukan two-state solutions untuk merespons isu kemanusiaan di Gaza. Menurutnya, selain pengakuan atas negara Palestina, Israel juga harus diakui keberadaannya dan dijamin keamanannya. Pernyataan yang cukup kontras terlihat dari Namibia yang diwakilkan oleh Presiden Netumbo Nandi-Ndaitwah. Dirinya sedari awal telah memperjelas kerentanan perempuan dan pengakuan atas perempuan, seperti dengan menyebutkan “The rights of men and women”. Namibia sebagai salah satu negara yang berasal dari benua Afrika memiliki luka kelam yang berkaitan dengan apartheid dan kolonialisme. Hal ini pun mendorongnya untuk merangkul seluruh suara untuk bersolidaritas demi memperjuangkan kemanusiaan, terkhususnya genosida di Gaza. Ia mendorong PBB untuk menangani dan mengecam kependudukan Israel di wilayah Palestina.

Dengan demikian, perbedaan yang jelas terlihat adalah mengenai keberpihakan. Namibia secara tegas mengakui adanya genosida dan kependudukan Israel di wilayah Palestina. Sementara itu, Indonesia cenderung mengambil langkah moderat. Pengakuan akan kerentanan identitas lebih jelas terlihat dalam pidato Presiden Namibia, terkhususnya mengenai perempuan di Palestina. Kerentanan identitas pun menjadi salah satu prinsip krusial yang harus dimiliki dalam merespons isu genosida di Gaza.

Interseksionalitas Seharusnya Tidak Dilepaskan: Kolonialitas Gender terhadap Perempuan Palestina

Gerakan-gerakan sosial untuk menghentikan penderitaan perempuan di Palestina bermunculan, terkhususnya dari kalangan feminis. Meskipun demikian, diskriminasi terhadap perempuan Palestina muncul di tengah-tengah gerakan yang sering kali dilabeli sebagai gerakan “progresif” ini. Contoh dari diskriminasi tersebut datang dari kalangan feminis liberal, terkhususnya di Barat. Pada dasarnya, inti dari gerakan feminisme adalah untuk mengakhiri eksploitasi. Namun, feminis liberal dikritik karena gerakannya yang cenderung mendiversifikasi kelas eksploitator. Bahkan, gerakannya dilabeli sebagai white feminism dan memunculkan fenomena kolonialitas gender. Merujuk pada Lugones (2010) kolonialitas gender merujuk pada sistem kekuasaan pengetahuan kolonial yang berlanjut dan mengatur tatanan internasional melalui kategorisasi gender yang didasarkan pada nilai Barat. Suara lantang dikeluarkan ketika perempuan di Barat—terutama kulit putih—mengalami diskriminasi, tetapi diam dalam menghadapi genosida serta femisida yang terjadi di Gaza. UN Women menyatakan bahwa genosida yang terjadi bukanlah “konflik” perempuan di Palestina sehingga harus dilindungi. 

Pembingkaian perempuan sebagai identitas yang polos dalam genosida menciptakan permasalahan. Seakan-akan, perempuan dianggap tidak berdaya sehingga rentan didepolitisasi. Padahal, perempuan rentan terhadap politisasi akan kehidupannya dalam situasi tidak kondusif, seperti genosida. Perempuan tidak dapat didepolitisasi dalam genosida, terlebih lagi pelaku genosida sering kali menyasar perempuan karena dilihat sebagai fungsi reproduksinya oleh sang opresor. Melalui sudut pandang ini, perempuan palestina menjadi pengecualian oleh feminis liberal dengan tidak adanya pengakuan status perempuan sehingga tidak dianggap sebagai warga sipil (Grech, 2025). Kemudian, melalui kacamata liberal, budaya maskulinitas juga dilanggengkan dengan kepolosan dan kerentanan yang dianggap sebagai hal yang feminim. Dengan demikian, pendikotomian perempuan sebagai identitas yang dianggap polos hanya akan menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Feminis liberal pun gagal dalam meliberalisasi perempuan, terkhususnya di Palestina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun