Air merupakan sumber kehidupan manusia. Ia menopang pertanian, menyuburkan tanah, mengisi kebutuhan dasar manusia, dan menjaga keseimbangan ekosistem. Setiap tetesnya memiliki peran vital dalam keberlangsungan hidup, baik di kota maupun di desa. Karena itu, sistem pengelolaan air, termasuk jaringan irigasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan dan ketahanan lingkungan. Di desa-desa dataran rendah seperti Desa Rasau Jaya Tiga, saluran irigasi tidak hanya berfungsi sebagai penyuplai air ke lahan pertanian, tetapi juga menjadi penopang utama kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Jaringan irigasi yang membentang di Kecamatan Rasau Jaya ini menjadi tulang punggung sistem pengairan untuk mendukung kegiatan pertanian, perkebunan, serta permukiman warga.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, pemafaatan lahan di sekitar jaringan irigasi atau bisa kita sebut sebagai sempadan mulai tampak adanya perubahan. Banyak area tepi saluran yang sebelumnya ditumbuhi rumput atau semak pelindung kini digunakan sebagai jalan akses, kebun kecil, bahkan tempat menumpuk material bangunan. Perubahan ini terlihat sederhana, tetapi memiliki dampak yang cukup besar. Tanah yang berada di tepi saluran (sempadan) mulai terkikis sedikit demi sedikit, dan endapan lumpur menumpuk di dasar saluran. Akibatnya, fungsi saluran terganggu, terutama saat curah hujan tinggi.
Pada saluran irigasi sekunder, tutupan lahannya di beberapa tempat masih berupa vegetasi alami yaitu rumput liar dan semak. Namun kondisi ini tidak serta merta menjamin kestabilan tanah. Pengamatan langsung menunjukkan bahwa erosi tetap terjadi di lokasi-lokasi tersebut, terutama karena debit air yang tinggi menggerus bagian bawah sempadan. Jenis vegetasi yang tumbuh umumnya berakar dangkal, sehingga tidak cukup kuat menahan tekanan aliran air. Penelitian oleh Stutter, Chardon, dan Kronvang (2012) mendukung temuan ini, dengan menyatakan bahwa vegetasi dengan sistem akar dangkal kurang efektif dalam menghambat aliran permukaan dan kehilangan sedimen. Studi lain oleh Dunn et al. (2022) menegaskan bahwa pohon atau tanaman berakar dalam lebih efektif dalam menahan tanah dari erosi dibandingkan vegetasi semak atau rumput biasa.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa jenis tanaman yang paling banyak ditemukan di sempadan terutama di saluran irigasi tersier adalah pohon pinang (Areca catechu). Meskipun memiliki nilai ekonomi dan tumbuh dengan baik, sistem akar pohon pinang bersifat serabut, mengumpul di permukaan, dan dangkal. Hal ini membuatnya tidak efektif dalam mencegah erosi tanah. Padahal, agar fungsi sempadan maksimal dalam menahan tanah, dibutuhkan vegetasi berkayu dengan akar menyebar dan menembus lebih dalam ke dalam tanah, seperti kaliandra, lamtoro, atau bambu air. Selain memberikan perlindungan ekologis, tanaman-tanaman tersebut juga berpotensi memberi manfaat ekonomi tambahan.
Yang sering terlupakan adalah bahwa sempadan saluran irigasi memiliki dasar hukum yang jelas. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 08/PRT/M/2015, sempadan jaringan irigasi adalah ruang di kiri dan kanan saluran yang ditetapkan untuk melindungi struktur dan fungsi jaringan irigasi dari gangguan, baik dari segi teknis maupun ekologis. Untuk saluran tidak bertanggul seperti yang umum ditemukan di Rasau Jaya Tiga, aturan ini menetapkan lebar minimal sempadan sebesar satu meter dari tepi saluran, khususnya jika kedalaman saluran kurang dari satu meter. Artinya, ruang selebar satu meter di tepi saluran bukanlah ruang bebas, melainkan zona lindung yang seharusnya tidak dimanfaatkan secara sembarangan.
Sayangnya, banyak warga belum mengetahui keberadaan regulasi ini. Sempadan sering dianggap sebagai ruang yang bisa dimanfaatkan secara bebas, padahal fungsinya sangat vital. Ia menjaga struktur saluran tetap utuh, mengurangi kecepatan aliran air, menyaring sedimen, dan menjadi zona penyangga alami yang membantu mengelola limpasan air permukaan. Jika tidak dijaga, erosi akan terus terjadi, menyebabkan sedimentasi di dalam saluran yang mengurangi kapasitas aliran air. Akibatnya, saat musim hujan datang, saluran mudah meluap, air masuk ke lahan pertanian, dan masyarakat pun berisiko mengalami banjir lokal.
Dampaknya bukan hanya secara lingkungan, tapi juga ekonomi. Pendangkalan saluran mengganggu distribusi air yang seharusnya mengalir lancar. Petani juga bisa mengalami kekurangan air di musim tanam, atau justru kelebihan air di waktu yang tidak diinginkan. Ketimpangan ini mengancam produktivitas pertanian dan memperbesar potensi kerugian panen. Lebih jauh lagi, jika kerusakan saluran semakin parah, biaya untuk rehabilitasi akan jauh lebih besar daripada biaya pencegahannya.
Berbagai penelitian telah memperkuat pentingnya menjaga sempadan saluran. Studi oleh Zaimes, Emmanouloudis, dan Iakovoglou (2019) menunjukkan bahwa pemanfaatan sempadan secara intensif dan tanpa pengelolaan mempercepat proses erosi. Sementara itu, vegetasi buffer yang dikelola dengan baik terbukti mampu memperlambat aliran air dan menyaring sedimen sebelum masuk ke badan air. Artinya, menjaga vegetasi di sempadan bukan hanya soal menghijaukan pinggiran, tapi langkah nyata dalam menjaga fungsi irigasi dan mencegah degradasi lahan.
Solusi yang bisa dilakukan sebenarnya tidaklah rumit. Langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran warga tentang keberadaan dan fungsi sempadan. Edukasi bisa dilakukan melalui penyuluhan desa, pamflet informasi, atau bahkan papan pengingat di dekat saluran. Pemerintah desa memiliki peran penting untuk mendorong kolaborasi antara petani, tokoh masyarakat, dan generasi muda dalam menjaga zona lindung ini. Di samping edukasi, pendekatan vegetatif juga perlu dilakukan dengan menanam pohon-pohon yang memiliki sistem perakaran kuat, menyebar, dan dalam agar mampu menahan erosi serta membantu menyerap kelebihan air permukaan. Beberapa jenis pohon yang sesuai diantaranya Bambu kuning (Bambusa vulgaris), Petai (Parkia speciosa), dan Jengkol (Archidendron pauciflorum). Ketiganya tidak hanya efektif sebagai penguat sempadan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang. Reboisasi skala kecil di tepi saluran bisa dimulai dari titik-titik paling rawan yang sudah teridentifikasi melalui observasi, denhan penempatan dan jarak tanam yang tepat dari tepi saluran, vegetasi seperti ini akan membentuk lapisan penyangga alami yang dapat meredam aliran air, menahan partikel tanah, serta mengurangi sedimentasi yang masuk ke dalam saluran
Tak kalah penting, perlu ada kesepakatan bersama atau peraturan desa yang melarang pemanfaatan langsung sempadan sebagai lahan kebun. Penetapan batas satu meter sebagai zona lindung harus ditegaskan dalam musyawarah desa dan dijaga secara gotong royong. Pemerintah desa juga bisa menginisiasi program padat karya atau kerja bakti rutin untuk membersihkan saluran dan memperkuat sempadan secara vegetatif dan struktural.
Menjaga satu meter sempadan mungkin terdengar sepele, namun dampaknya jauh lebih besar dari yang terlihat. Dari pinggiran itulah keberlanjutan irigasi, keselamatan permukiman, dan ketahanan pangan desa bergantung. Satu pohon yang tumbuh di tepi saluran bisa menjadi penyelamat dari banjir, longsor, atau gagal panen. Dan dengan kolaborasi semua pihak, menjaga sempadan bukan hanya mungkin, tapi seharusnya menjadi prioritas bersama