"Narto, apa kamu sudah tak ingin lagi lihat kirab budaya, Le?" Pinta emaknya halus kala melihat Narto terus menerus melihat rekaman YouTube dengan serius. Ibunya sampai hapal vibes kajian dan sepertinya mempunyai pola yang sama.
Jihad dan bidadari, jihad dan surga, surga bagi orang-orang beriman,
Tentu ini sedikit membuat ibunya khawatir mengingat ustaz-ustaz kampung tidak pernah mengatakan kata-kata bidadari selama ini. Apalagi kata yang itu.. ji had..
"Tidak Bu, Narto tidak minat lagi bermain seperti itu!"
Sejak saat itulah Narto meninggalkan "gelarnya". Gelarnya yang sarjana pertanian mangkrak dan diam. Narto tidak peduli dengan masalah tani di desanya. Dia sudah lupa jika sejak kecil dia bercita-cita menjadi petani sukses dan ingin menanam sebanyak-banyaknya tanaman yang bermanfaat di sana. Sekarang, kata-kata itu lebih candu. Bidadari--yang entah seperti apa rupanya, lebih menarik di angan-angan Narto daripada mimpi kecil nan lugu itu semua.
"Lalu bagaimana dengan Ning? Perempuan pujaanmu? Bukannya kamu dahulu bercita-cita melamarnya?"
Tak ada jawaban. Dan sekarang emak Narto malah mendapat jawaban berupa wujud anaknya yang seperti itu. Hasil belajar dari kota itu menumbuhkan berbagai tanda tanya. Menjadikan Narto serigala seperti ini.
Terlihat, Narto akan pulang lebih malam. Semakin tahun, kepulangan Narto akan menyamai kedatangan raja bintang. Semakin tahun juga Kilatan matanya semakin mengkilat, hitam. Hitam yang mengerikan. Kilatan itu semakin runcing seperti pedang api.
Apa yang terjadi pada Narto?
"Makasih Mak sepuluh jutanya, aku akan cari siapa orang yang membuatku seperti ini!" ucapnya bersungut-sungut.
"Aku akan menggunakan ajian terakhirku," desis Narto.