Mohon tunggu...
Varhan AZ
Varhan AZ Mohon Tunggu... Auditor - Penyemangat

Beneficial #ActivistPreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilkada Asimetris dan Harapan Kualitas Hidup Masyarakat Indonesia

5 Desember 2019   13:21 Diperbarui: 7 Desember 2019   09:04 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS/PRIYOMBODO)

"Leiden Is Lijden, Memimpin Berarti Menderita."
(Haji Agus Salim, Majalah Prisma Edisi 8,Tahun 1977)

Quote tokoh bangsa di atas akan menjadi relevan pada masa perjuangan, era perang kemerdekaan dan pasca proklamasi. Betapa kita melihat perjuangan rakyat dan pemimpin Aceh patungan harta pembelian pesawat. Atau Sultan Siak yang menyumbang 13 juta gulden (1000 triliun rupiah) untuk Kemerdekaan RI.

Tapi di era-era setelahnya? Agak utopis. Apalagi era ini.

Kualitas kepemimpinan ditentukan oleh proses penjaringan, penyaringan, sampai pemilihan. Rakyat awam melihat pemilihan umum pusat dan daerah, secara sederhana. Ini menjadi momen lebaran bagi mereka menikmati siraman serangan fajar 5 tahun sekali.

Buat warga yang sudah langganan dapat, mereka hanya pilih yang bayar. Kalau ternyata  semuanya bayar, mereka pilih yang paling banyak nominalnya.

Pola transaksional demikian menjerumuskan kualitas hidup mereka ke arah mencemaskan. Pemimpin yang terpilih didasarkan kemampuan membayar, akan mengharap pengembalian lebih dari impas modal dan sekadar mencari untung dalam menjalankan kepemimpinan.

Pilkada kita ini berbiaya mahal. 100 ribu untuk 5 tahun, 20 ribu setahun, 1500 sebulan, 50 rupiah sehari. Kasihan rakyat, dibayar murah.

Prabowo Subianto pernah menyampaikan, 300 milliar untuk menjadi gubernur adalah paket hemat. Mantan Komisioner KPK Basaria Panjaitan mengatakan, diperlukan 20-30 milliar untuk menjadi seorang bupati.

Pertanyaannya, gaji gubernur hanya sekitar 15 juta, ditambah tunjangan-tunjangan, paling banyak 200 juta sebulan, setahun 2.4 miliar, 5 tahun 12 miliar. Masih tekor 288 miliar. Adakah orang mau 'boncos' jadi gubernur?

Pasti tidak. Toh faktanya, tidak ada gubernur dan bupati yang jadi miskin karena menjabat. Tidak ada yang menderita. Tambah kaya iya, masuk KPK banyak.

Efek dominonya, menyeret birokrasi pada permainan tebak-tebak buah manggis. Bagi pejabat daerah yang mau dan bisa bertahan sampai ke pucuk sekda, kadis, dan lain-lain, harus jadi "politisi birokrat" yang ulung, menebak ke mana akan merapat, dan meramal siapa yang akan menang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun