Mohon tunggu...
Vania Intan Permatasari
Vania Intan Permatasari Mohon Tunggu... Jurnalistik

Mahasiswa Jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU Polri Suatu Cara Memperkuat Kekuasaan : Ancaman Nyata Bagi Demokrasi dan Perlindungan HAM

16 April 2025   14:08 Diperbarui: 16 April 2025   14:08 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kekerasan Polisi (Sumber: Google)

RUU Polri Suatu Cara Memperkuat Kekuasaan : Ancaman Nyata Bagi Demokrasi dan Perlindungan HAM 


Deretan kasus pelanggaran berat oleh oknum Polri dalam beberapa bulan terakhir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Dari 429 personel Polda Riau yang terlibat narkoba, pemerasan dana pendidikan oleh penyidik korupsi di Sumut, kekerasan seksual terhadap remaja di Papua Barat, hingga penembakan fatal oleh Aipda Robig di Semarang - semua menunjukkan pola penyalahgunaan wewenang yang sistemik. Ironisnya, di tengah krisis legitimasi ini, RUU Polri justru hendak memperluas kewenangan aparat tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, berpotensi melegalkan impunitas dan kekerasan yang selama ini terjadi.  

Kasus narkoba massal di Polda Riau membongkar kegagalan sistemik dalam pengawasan internal Polri. Bagaimana mungkin institusi yang bertugas memberantas narkoba justru menjadi sarang pengguna dan pengedar? Sementara itu, kasus pemerasan dana pendidikan oleh oknum penyidik korupsi di Sumut menunjukkan mental premanisme yang telah mengkristal. Yang paling memilukan, kekerasan seksual terhadap dua remaja di Papua Barat oleh oknum polisi dalam tahanan - ruang yang seharusnya paling terkontrol - membuktikan betapa dalamnya krisis moral di tubuh institusi penegak hukum ini.  

RUU Polri dalam bentuk sekarang justru akan memperparah kondisi ini. Klausul-klausul kontroversialnya berpotensi: memberikan kekebalan hukum bagi tindakan represif aparat, memperluas kewenangan tanpa checks and balances yang memadai, dan memangkas peran pengawasan eksternal. Kasus Aipda Robig yang masih menerima gaji meski telah menewaskan pelajar menunjukkan bagaimana sistem saat ini sudah gagal memberikan efek jera. Dengan RUU ini, proses hukum terhadap pelanggaran aparat akan semakin sulit diakses secara transparan oleh publik.  

Pernyataan pejabat Polri yang membandingkan tindakan aparat dengan polisi di Amerika justru menunjukkan mentalitas yang salah kaprah. Alih-alih melakukan introspeksi terhadap kekerasan dalam aksi demonstrasi, yang terjadi justru pembenaran terhadap tindakan represif. Padahal, kasus penembakan terhadap Gamma Rizkynata Oktafandy (17) membuktikan bagaimana wewenang yang ada saat ini sudah sering disalahgunakan. Jika RUU Polri disahkan, kekerasan semacam ini akan semakin sulit diadili karena payung hukum yang melindungi pelaku.  

Masyarakat tidak lagi bisa percaya pada retorika "oknum" ketika pelanggaran terjadi secara masif dan sistemik. RUU Polri dalam bentuk sekarang adalah ancaman serius bagi demokrasi dan perlindungan HAM. Saatnya pemerintah dan DPR mendengarkan suara publik: tolak RUU Polri yang bermasalah, dan fokus pada reformasi mendasar di tubuh kepolisian. Tanpa itu, seragam coklat akan semakin dipandang sebagai simbol penyalahgunaan kekuasaan, bukan perlindungan bagi masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun