Jejak bubur pertama kali ditemukan sejak sebelum masehi di mana Kaisar Kuning atau Xuanyuan Huangdi berkuasa di daratan Cina. Pada saat itu, ada musim paceklik yang mengharuskan kaisar memutar otak; dengan cara apa rakyat dapat tetap makan ketika bahan makanan terbatas.Â
Dan jawabannya adalah dengan membuat bubur atau congee. Eits, congee dilafalkan 'kanji' yaa, jangan terkecoh dengan tulisannya yang bisa punya arti lain hehe. Beras yang dimasak dengan lebih banyak air pun menjadi bubur, membuat jumlahnya lebih berlimpah sehingga bubur dapat dibagikan kepada banyak orang. Permasalahan pun teratasi.Â
Masih dari daerah Tiongkok, bubur identik dengan makanan untuk orang yang sedang sakit. Salah seorang dokter kerajaan pernah membuatkan bubur untuk Kaisar Qi yang sedang sakit. Tekstur bubur yang lembut memudahkan untuk dicerna oleh tubuh, sehingga cocok untuk disantap saat kondisi tubuh sedang tidak baik-baik saja.Â
Bubur (congee) awalnya hanya berupa campuran sup panas dari kaldu dan beras. Seiring waktu berjalan, congee berubah menjadi semakin bervariasi. Potongan sayur, daging, telur, dan kacang-kacangan sering ditambahkan sebagai topping.Â
Di Indonesia sendiri, tambahan sambal dan kerupuk sudah menjadi semacam kewajiban. Bubur yang lembut dan hangat ini paling cocok disantap saat sarapan dan malam hari, atau ketika udara sedang dingin.Â
Baca juga:Â Bubur Kebuli, Bubur Kreasi Baru yang Bakalan Ngehits di Indonesia!
Sering Digunakan sebagai Asupan Pendukung Obat
Dilansir dari Sustain health, congee telah dikonsumsi lebih dari 3000 tahun yang lalu, pertama kali ditemukan melalui bukti tertulis sejak zaman dinasti Chinese Zou di Asia Selatan dan Asia Timur. Namanya sendiri berasal dari bahasa Tamil 'Kanji' yang artinya merebus, kemudian berubah menjadi 'canje' setelah kolonisasi Portugis, kemudian berubah kembali menjadi 'congee' yang saat ini lebih familiar di berbagai belahan dunia. Â
Kaisar kuning, penemu TCM atau Pengobatan Tradisional Cina yang melegenda diduga adalah pihak yang awal mula membuat congee. Lebih dari 3000 tahun yang lalu, bubur mula-mula dibuat oleh sang kaisar dengan mengukus dan merebus nasi. Konon katanya, ia membuat bubur setelah menemukan panci untuk pertama kali yang kemudian ia gunakan untuk mengukus.Â
Selain enak, bubur yang lembut juga sering dijadikan makanan untuk pengobatan. Zhang Zhongjing, tabib terkemuka dari Tiongkok dalam karyanya menulis tentang pengaruh penting bubur terhadap tindakan medis untuk memulihkan tubuh.
 Mengonsumsi congee hangat setelah meminum seduhan tanaman herbal dipercaya dapat mendorong fungsi medis tubuh dalam menghasilkan keringat dan mengeluarkan energi patogen keluar. Patogen sering disebut juga mikroorganisme parasit, agen inilah yang menyebabkan infeksi pada inang tempat ia bersarang, misalnya hewan dan manusia.Â
Secara tradisional, salah satu khasiat mengonsumsi congee adalah untuk melindungi perut dengan menyeimbangkan herbal yang berfungsi sebagai obat. Congee dan herbal adalah semacam pendukung agar tubuh lekas pulih karena mampu mengenai area tubuh yang sakit secara tepat.
Congee sering direkomendasikan sebagai sarapan terbaik di segala musim. Hal ini karena congee atau bubur dapat mengisi perut sampai kenyang dengan teksturnya yang lembut di pencernaan.Â
Dari waktu ke waktu bubur seolah menjadi penawar rasa sakit yang lebih enak dimakan ketimbang obat. Hidangan ini sekarang merupakan salah satu hasil akulturasi budaya Tiongkok dan Indonesia yang semakin beragam dalam rasa, penampilan, dan manfaat.Â