Mohon tunggu...
Valentinus Sindoro
Valentinus Sindoro Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Ad Maiorem Dei Gloriam

multatuli

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perisai dan Pedang Terorisme dan Pluralisme

14 Februari 2022   12:04 Diperbarui: 14 Februari 2022   12:12 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika Taliban menguasai Afghanistan pada bulan Agustus yang lalu, negara-negara di dunia menjadi lebih waspada terhadap gerakan-gerakan terorisme. Indonesia yang juga mempunyai masalah serius dengan teroris meduga mengambil sikap waspada tinggi. Banyak pandangan mengenai kemenangan Taliban khususnya Indonesia. Abu Tholut, mantan pimpinan Jemaah Islamiah, justru berpandangan bahwa Indonesia tak perlu takut dengan kemenangan Taliban. Perjuangan Taliban menurutnya tidak memengaruhi jihadis Indonesia yang memiliki atau tidak memiliki afiliasi tertentu. Dorongan ini bisa dihindari, kecuali pandangan mereka memandang kemenangan Afghanistan sebagai bahan bakar mereka untuk melakukan aksi-aksi radikalisme. Thaliban termasuk gerakan entitas politik dengan cara-cara kekerasan. Kekuasaan mereka dihasilkan dari kekerasan.

"Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tidakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan" (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11/2015) Pernyataan Paus di atas disampaikan ketika berkunjung ke Benua Afrika untuk membantu mencari penyelesaian konflik antara Muslim-Kristen di benua tersebut. Paus Fransiskus sangat berharap pada kaum muda untuk melanjutkan hidup bangsanya. Ditangan kaum muda inilah sebuah bangsa akan maju dan berkembang.

Fungsi-fungsi agama menurut Emile Durkheim, yaitu yang pertama, sebagai perekat sosial (social cohesion). Agama yang ada berguna untuk mempersatukan orang melalui simbolisme, nilai, dan norma yang dibentuk. Selain itu, dengan hadirnya moralitas atau aturan hidup sosial terorganisir. Fungsi yang kedua adalah kontrol sosial (social control) yang menghadirkan konformitas bagi kelompok agama tersebut. Fungsi yang ketiga adalah agama sebagai pemberi makna dan tujuan. Agama yang hadir dalam kehidupan masyarakat menawarkan rasa aman dan nyaman yang bisa dinikmati apabila agama dianut dan dipercayai. Agama yang dibentuk oleh masyarakat sosial bertujuan untuk menciptakan masyarakat ideal menurut masing-masing. Paham dan latar belakang yang berbeda inilah yang bisa menimbulkan konflik karena tidak sejalan.

Terdapat beberapa sumber masalah yang bisa membelokkan atau mengaburkan tujuan baik dari agama. Pertama, persoalan pemahaman keagamaan. Oleh sebab karena adanya keyakinan akan teks suci yang mengajarkan tentang terorisme dari kata jihad. Pemahaman keagamaan merupakan bagian penting dari kekerasan agama (radikalisme-terorisme) yang dilakukan. Kedua, radiakalisme-terorisme juga dikaitkan dengan adanya pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum yang berjalan dalam sebuah negara. 

Sebuah rezim politik dan partai tertentu dianggap berlaku tidak adil kepada sekelompok masyarakat. Ketiga, radikalisme-terorisme juga buruknya dalam hal penegakan hukum sehingga menimbulkan apa yang sering disebut sebagai ketidakadilan hukum. Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan maksimum, sehingga menumbuhkan kejengkelan dalam perkara hukum yang ada dalam sebuah negara. Ketidakadilan hukum dianggap sebagai salah satu faktor yang masih dominan dalam sebuah negara termasuk di Indonesia, sehingga apparat penegak hukum sering menjadi sasaran kekerasan kaum radikalis-teroris. 

Peristiwa penembakan aparat kepolisian di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Poso, Mataram, Solo, Mataram dan Jakarta adalah bukti-bukti yang menjelaskan kalau posisi dianggap tidak adil dalam menegakkan hukum Keempat, persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pendidikan yanglebih menekankan aspek indoktrinasi, tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah. Oleh sebab itu, pendidikan semacam itu merupakan masalah lain lagi yang sangat mungkin mendorong terjadinya radikalisasi karena kebebalan perspektif pendidikan agama. Sebaiknya harus dipikirkan kembali pendidikan agama yang bersifat transformatif dan pembebasan pada umat manusia.

Dalam masyarakat kita yang berpola seperti demikian, agama kadang bersifat tak terjamah untuk dikritisi atau dipertanyakan. Ini tidak lepas pula dari peran masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu menjaga otoritas keagamaan. Caranya dengan melalui tokoh-tokoh agama atau pemimpin agama itu sendiri. Mereka diposisikan sebagai seorang referensi yang paling valid untuk menunjukkan pengetahuan agama. Selain itu, adapula agama dalam lingkungan pendidikan yang berusaha mengokohkan "kesucian" agama. 

Dalam lingkungan pendidikan, agama seolah-olah tidak diberi ruang untuk ditanyakan maupun dikritisi. Agama hanya sebatas kurikulum yang diajarkan dan guru hanya berpengetahuan sampai dengan situ saja. Lalu, faktor terakhir yang tak terbantahkan adalah kesucian agama itu sendiri. Agama yang dianut diterima secara taken for granted (apa adanya) oleh para penganutnya. Sebagian besar dari kita memeluk agama yang sudah dianut oleh orangtua sejak lahir tanpa tahu mengapa memeluk agama tersebut. Lalu ketika sudah bertumbuh besar, individu mulai memasuki sosialisasi terhadap agama, yaitu mengenai nilai-nilai, aturan, tatacara, upacara, ritual, dan sebagainya yang harus dituruti.

Hal-hal mengenai paham-paham beragama yang salah seperti inilah yang menimbulkan konflik lebih jauh yang dinamakan terorisme. Bagaimanapun, terorisme adalah bahaya yang unik karena menggabungkan antara ketakutan yang besar dengan kekacauan yang kecil. Terorisme bisa dianggap sebagai pengalih perhatian dalam penilaian kita tentang kemajuan, dan dengan cara tertentu sebuah penghargaan tidak langsung dalam kemajuan tersebut.

Badan pemerintahan atau Negara yang tidak memedulikan hukum dan memiliki tata kelola yang buruk memperparah kondisi ini. Hal ini menyebabkan efek besar yang berkait. Tujuan terorisme bisa tercapai, yaitu tidak lebih dari publisitas, meningkatnya korban, media yang berusaha untuk menggembor-gemborkan ketakutan atau "provokasi", dan pesimisme. Negara seharusnya bisa mempertahankan dan meningkatkan peran edukasi sebagai bentuk input pemerintah untuk menanamkan kesadaran kehidupan multikultural. Tak cukup sampai edukasi, negara tetap harus menjaga atmosfer perdamaian dan persatuan dengan menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakatnya.

Sumber :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun