Mohon tunggu...
Valencya Poetri Widyanti
Valencya Poetri Widyanti Mohon Tunggu... -

Pemikiran itu seperti parasut, ia tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak mengembang.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tersembunyi Ujung Jalan

26 Juli 2014   09:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:11 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

9 Keputusan

Autumn.

Sayap-sayap cinta yang berguguran. serupa daun-daun maple menguning, terhempas angin, berkarib dengan tanah. Seiring sepoi angin di musim ini, kuselaraskan langkah pada apa yang menjadi keinginan orangtuaku.

Mungkin ini adalah caraku menghargai mereka atas semua yang diupayakannya sepanjang umurku ini. Aku percaya, cinta sejati tak pernah mati. Ia berguguran dan melebur dalam ketiadaan untuk menumbuhkan cinta-cinta yang lain.

Sudah hampir pagi di Akita, aku telah selesai berkemas. Tak banyak yang kubawa, hanya pakaian alakadarnya. Semalaman mataku tak bisa terpejam, perih sekali rasanya. Aku beranjak menuju tempat Hide memarkir mobilnya. Hampir seminggu ia tidur di dalam mobil. Sekadar ingin dekat denganku.

Kuketuk kaca secara perlahan, dia menggeliat dan mengerjapkan mata bulatnya.

“Jam berapa?” tanyanya sambil membuka pintu.

“Jam 5, masuklah! Kubuatkan kopi untukmu.” kugandeng tangannya. mengambilkan handuk dan peralatan mandi, lalu aku ke dapur.

Pagi ini, memang tak seperti biasanya. Ada sepi yang menjarak di antara mata yang yang mengincar setiap gerak-gerik.

“Tidak ada yang ketinggalan, Debi?” Katanya perlahan, sambil memandang ke arah koperku.

Tatapannya begitu kosong, meski kutahu ia mencoba untuk tegar. Bahkan, kopi yang kubuat, sedari tadi hanya dipegang, tak sedikit pun diminumnya. Dari cara memegangnya, seolah ia tak rela untuk menanggalkan kehangatan yang terpancar di gelas kopi. Namun bukan itu yang kutangkap. Aku yakin, jika ia sama sekali tak rela melepas kehangatan hubungan yang baru saja terjadi.

“Ada, hatiku.” jawabku lirih, nyaris tak terdengar. Dan aku memang tak ingin ia mendengarnya. Aku bisa merasakan seperti apa sakit yang  dirasakan jikasaja ia mendengarnya.

“Kita berangkat saja sekarang, supaya tak tergesa di jalan.” sahutnya, lemah.

Aku mengangguk dan berpamitan pada teman-teman. Mereka tak banyak bicara, pelukan demi pelukan kudapat demi memberiku kekuatan. Namun, aku justru semakin merasa lemah.

Masih ada beberapa waktu untuk menunggu setelah boarding. Kami memilih tempat agak di sudut. Tangannya tak pernah lepas dari jemariku, genggamannya terasa lebih erat.

“Apapun yang terjadi, kamu tahu kemana harus mencariku kan, Debi?”

Aku hanya bisa mengangguk. Seperti biasa, kusandarkan kepalaku di lengannya.

“Aku akan minta mutasi ke Sendai, menemani Ibu. Berjanjilah kau akan menghubungi dia sesampai di Indonesia.”

“Iya! Begitu tiba, aku akan menelponnya.”

“Ada sesuatu untukmu...” katanya sambil merogoh saku lalu mengulurkannya padaku.

Pin cantik dengan foto kami saat pesta bakaran. Aku tersenyum, ku kecup perlahan pin itu.

“Aku harus berangkat, Hide.” panggilan pertama untuk naik pesawat.

Ai ga matteiru, Debi. Shinjitte kudasai.” katanya mengecup keningku.

Aku membalasnya dengan pelukan erat. “I love you so much...” ucapku terbata.

“Aku tau. Jangan menoleh jika itu akan memberatkan langkahmu.” katanya mengelus rambut dan pipiku.

Maka akupun melangkah tanpa menoleh. Bukan tak ingin melihatnya saat kepergianku, hanya tak ingin dia melihat anak sungai di pipi yang memberatkan langkahku.

~O~

BERSAMBUNG

Ilustrasi:www.infodapur.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun