Aku lemparkan ranselku di sofa empuk samping Danto, sahabatku. Aku memilih mengelesot di karpet. Aku diam, kutunggu Danto yang masih sibuk di meja gambarnya. Kutunggu dia punya waktu untukku.
Lima belas menit kemudian ... setelah aku jatuh tertidur, Danto menggoyangkan bahuku.
"Ada apa, Yung?"
"Aku dipingit lagi, untuk kesekian kalinya, oleh Bapakku sendiri! Bebaskan aku, Danto!"
Danto tertawa, katanya, "Lah ya siapa lagi yang bisa pingit kamu, jelas hanya Bapak, dong!"
"Eh, tugasmu itu menghiburku, membuatku merasa baikan, jangan malah tepuk tangan," kataku masih kesal. Danto memang tugasnya macam-macam sebagai sahabat: menghibur dan mengesalkan tapi harus tetap setia dalam hujan badai, lapar maupun kenyang.
"Ini tentang jurusan yang kamu ambil di universitas?" tanya Danto dengan sabar, dia sekarang ikut duduk lesehan di depanku sambil mempersiapkan beberapa softdrink dan camilan. Dia siap mendengarkan sambil mengisi perut.
"Iya!" Aku berteriak. "Aku harus ambil jurusan yang dipilih Bapak."
"Apakah Bapak seperti biasanya tidak memberi alasan?" Tentu tidak, Danto Uwuwuwu. Bapakku kan kalau ngomong sepatah dua patah saja dan tidak bisa dibantah. Aura tak-perlu-dijawabnya itu kuat banget.
"Tapi itu pilihan, kan? Kamu masih boleh memilih yang lain, kan? Dan juga belum tentu kamu diterima di jurusan yang kamu inginkan. Bisa saja kamu diterima hanya di jurusan pilihan Bapakmu," eh Danto malah menuang bensin di api yang membara.