Mohon tunggu...
Healthy Pilihan

WNA Sakit Minta Tanggung Jawab BPJS

8 Januari 2017   14:20 Diperbarui: 11 Januari 2017   19:56 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Surat terbuka ini saya tujukan untuk:

BPJS Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI, Presiden Jokowi serta semua teman pembaca Kompasiana.

Suami saya adalah seorang WNA peserta BPJS kesehatan mandiri. Rajin membayar iuran tiap bulannya. Setahun yang lalu, suami saya didiagnosis menderita peripherial artery desease (PDA) yaitu penyumbatan pembuluh darah arteri kaki. Saya bawa suami saya ke sebuah rumah sakit besar di Jakarta atas rujukan dari rumah sakit di Yogyakarta. Dokter menginformasikan bahwa kasus suami sulit dan harus ditangani segera.

Dokter di rumah sakit tersebut merekomendasikan agar suami saya segera menjalani operasi Femoro Tibial bypass agar keadaannya tidak bertambah parah. Pada awal bulan Oktober 2016, suami menjalani operasi dengan BPJS sebagai pemberi jaminan. Sehari setelah Operasi, graft tersumbat dan operasi dinyatakan gagal oleh dokter di rumah sakit tersebut. Pihak rumah sakit tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk suami saya sampai ada ahli dari luar negeri yang mampu memberikan pertolongan.

Sebelum operasi sudah saya tanyakan tentang penyumbatan pada graft dan metode yang akan digunakan untuk membuka sumbatan. Dokter menjelaskan bahwa bisa dilakukan angioplasty untuk membuka kembali sumbatannya. Tapi kenapa setelah mengetahui bahwa graft tersumbat, cuma dibiarkan saja. Saya mulai mempertanyakan kompetensi dokter-dokter yang menangani suami saya. Apalagi dari informasi perawat di sana, jarang sekali operasi seperti ini dilakukan di rumah sakit tersebut. Hancur hati saya.Sepuluh hari suami dirawat di rumah sakit dengan dipompa obat-obatan pengencer darah. 

Di Rumah, suami mengeluh pahanya sakit. Sakitnya bertambah parah ketika dicoba untuk berjalan atau beraktivitas. Sudah berulang kali kami kontrol ke berbagai rumah sakit dengan BPJS dan biaya sendiri tanpa hasil. Operasi tersebut telah memperburuk keadaan suami. Ditambah lagi dengan luka kaki kanan terinfeksi dan dokter yang kami datangi di Yogyakarta atas rekomendasi rumah sakit di jakarta salah diagnosis. Lengkaplah penderitaan kami. Uang kami telah terkuras habis untuk transportasi, membeli obat-obatan dan biaya kontrol yang tidak ditutup oleh BPJS.

Saya tidak bisa lagi bekerja karena harus merawat suami yang sekarang harus memakai tongkat atau kursi roda. Karena sangat khawatir terhadap keadaan suami, saya telpon ke berbagai universitas di Jakarta dan Yogyakarta untuk mencari ahli bedah vaskuler dan endovaskuler. Sampai akhirnya saya menemukan seorang dokter konsultan bedah vaskuler dan endovaskuler. Saya bawa suami menemui beliau. Beliau menganjurkan agar segera dilakukan emergency bedah revisidan revaskulerisasi untuk menyelamatkan kaki suami dari amputasi. Sayangnya, rumah sakit beliau berpraktek tidak bekerjasama dengan BPJS. Biaya operasi akan mencapai ratusan juta.

Saya datangi BPJS pusat untuk minta bantuan, tapi permintaan saya ditolak.

Sudah saya jelaskan keadaan dan permasalahannya, mereka bilang hanya akan meng-cover kalau suami saya masuk UGD (dimana suami akan ditangani oleh dokter bedah umum yang mungkin malah akan menambah kerumitan masalahnya). BPJS kemudian menawarkan akan menjadi penengah antara saya dan pihak rumah sakit yang mengoperasi suami saya untuk menuntut pertanggungjawaban. Saya sudah katakan bahwa pihak rumah sakit sudah seleh dengan kondisi suami. Mereka hanya menawarkan pengangkatan graft tanpa revaskulerisasi. Tawaran yang tidak bisa kami terima karena tanpa revaskulerisasi, ancaman amputasi sangat tinggi. Apalagi pembuluh vena kakikanan sudah diambil semua untuk operasi yang gagal. Masalahnya menjadi sangat rumit.

BPJS memberi rekomendasi dan bekerjasama dengan rumah sakit yang melakukan operasi terhadap suami saya. Dalam suatu bentuk kerjasama, ketika salah satu partner melakukan kecerobohan, sudah seharusnya partner yang lain ikut bertanggung jawab, bukannya mencuci tangan dengan alasan prosedural. Kenapa saya yang harus menanggung biaya operasi revisi karena kecorobohan dokter dan rumah sakit?

Jika memang dokter di rumah sakit besar di Jakarta tersebut tidak memiliki kompetensi dan keahlian untuk melakukan operasi vaskuler, kenapa masih nekad melakukannya. Mereka bisa saja merujuk suami saya ke dokter lain yang lebih berpengalaman seperti tercantum di kode etik kedokteran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun