Mohon tunggu...
Rama Uta
Rama Uta Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Sulit untuk mencuri dunia yang telah bersikap dan menyandarkan punggung dengan kearifan untuk mengetahuinya..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[HUT RTC] Life of Pi

23 Maret 2016   14:04 Diperbarui: 24 Maret 2016   13:00 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="logo rtc"][/caption]

 

Minggu Keempat (Terinspirasi Film)

 

Life of Pi

Pada malam yang menjerumuskan badai berpendar pekat. Meruntuhkan keperkasaan penguasa fajar yang menyelimuti separuh jagat raya. Berganti dengan bisikan lirih tanpa meruncing iri. Berserah menyerap kalbu kepada penguasa abadi.

Tak elok melenggang gelanggang di perbatasan fatamorgana. Menuai ilalang lengkap dataran tertangkap mata nun jauh ke atas titik putih berpinak membuncah gurat-gurat cakrawala. Sesama indah kedua kutub bergantian menyapa tak mengkerdilkan satu sama lainnya. Tetap tunduk hayat patuh penuh pengharapan di haribaan ilahi rabbi.

Jiwa muda penuh onak duri yang muncul menjengah pongah. Sedikit arti cukup telak melahirkan kesombongan tanpa ilmu jiwa kesturi. Tak perduli pada hikayat yang telah menjamah mengalir semilir buih-buih ribuan getir empiris. Melanglang buana meniadakan angkara murka keras tak sudah-sudah. Dan belajarlah memahami dari mencuri dengar bincang-bincang surga untuk menangkap secuil asa.

Harusnya tetap bertafakur memenuhi hasrat murninya penciptaan. Mensiasati keniscayaan yang ujung-ujungnya memang menakdirkan kekhusyukan kalbu. Suatu keharusan bukan paksaan melainkan kesadaran tinggi akan segala penciptaan jati diri. Cukuplah berbaik sangka untuk menjalankan metamorphosis rantai gerak-gerik yang sedikit menyempit membentang lurus memaparkan poros kosongnya tenggorokan.

Bergumul pada bisikan cenayang yang menyambar sambar. Berhari-hari menitikkan air mata dan memuai berputus asa pun tak boleh. Teriakkan gemuruh fasik pertanda yang ada nihil tercapai. Pun diam mencekam tak berarti terlentang terlelap namun tetap waspada. Gejolak hidup menerjang makhluk tuhan bercerita. Pada dalil merakus menjadi penguasa sekoci tumpuan asa. Cita-cita berbelok arah tanpa perintah demi tetesan liur menitik tak sudah.

Hilangkanlah kekhawatiran yang dangkal bila bersendiri mencium langit biru. Rubuhlan sadar bagi yang tak kuasa menahan derita kecil tetesan kerikil neraka. Cukuplah iman menjadi ukuran jengkal-jengkal nafas yang mengeluarkan rutukan pun tuturan pemujaan. Sesadar bila terombang ambing di ombak tak berkesudahan yang mengukir tari tak bermusik nan bergelombang garang.  Mengucap komat kamit mantra pengharapan seketika menemui hinanya raga tanpa pijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun