Maka, dalam konteks "rekayasa konstitusional" pasca-Putusan MK, opsi yang paling ideal dan inheren dengan prinsip demokrasi serta hukum tata negara adalah penunjukan Penjabat (Pj.) anggota DPRD dengan basis elektoral dari perolehan suara terbanyak kedua (atau seterusnya) pada pemilu sebelumnya.
Penting untuk digarisbawahi bahwa "Pj." yang dimaksud di sini tidak dimaksudkan untuk dipahami secara kaku dengan menyamakannya persis seperti Pj. untuk jabatan eksekutif yang lazimnya bersifat administratif. Istilah "Pj." atau istilah lain yang memiliki substansi serupa (misalnya, "Anggota DPRD Transisi" atau "Anggota DPRD Sementara") hanya untuk menunjukkan pengisian masa transisi dan bahwa anggota DPRD tersebut tidak definitif.
Mekanisme ini menawarkan solusi yang seimbang:
- Â Menjaga Kedaulatan Rakyat: Pj. yang ditunjuk memiliki kaitan langsung dengan mandat rakyat yang pernah terekam dalam pemilu, meskipun tidak untuk masa jabatan definitif. Ini menghormati preferensi pemilih yang telah berpartisipasi.
- Menghindari Pelanggaran Prinsip Masa Jabatan Terbatas: Status Pj. bersifat sementara dan tidak mengubah masa jabatan definitif lima tahun yang diamanatkan konstitusi. Ini adalah pengisi kekosongan, bukan perpanjangan jabatan.
- Mencegah Penumpukan Kekuasaan: Pj. tidak melanjutkan mandat penuh dari periode sebelumnya, sehingga prinsip pembatasan kekuasaan tetap terjaga.
- Menjamin Kontinuitas Fungsi Legislatif: Dengan kewenangan penuh (namun status Pj.), lembaga DPRD tetap dapat menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan secara efektif selama masa transisi. Ini krusial agar roda pemerintahan daerah tidak terhambat.
Menjawab Kritik: Legitimasi Elektoral dalam Konteks Transisi
Beberapa pihak mungkin berpandangan bahwa suara elektoral Pj. yang akan mengisi kekosongan berasal dari pemilu sebelumnya yang "telah usang," sehingga sama saja tanpa legitimasi. Kritik ini perlu dijawab dengan pemahaman konteks transisi:
Pertama, tujuan penunjukan Pj. bukanlah untuk memberikan mandat politik baru yang penuh dan definitif, melainkan untuk mengisi kekosongan fungsional secara sementara agar roda pemerintahan daerah tetap berjalan tanpa hambatan legislatif. Ini adalah solusi darurat konstitusional yang diperlukan akibat jeda jadwal pemilu.
Kedua, meskipun suara tersebut berasal dari pemilu sebelumnya, basis elektoral dari perolehan suara terbanyak berikutnya jauh lebih memiliki legitimasi dibandingkan: * Perpanjangan masa jabatan incumbent yang mandatnya telah berakhir, yang secara langsung melanggar prinsip periodisasi jabatan. * Penunjukan Pj. dari kalangan birokrat atau non-elektoral yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan pilihan rakyat.
Menggunakan Analogi "Baterai Kekuasaan":
Jika kita menganalogikan kekuasaan sebagai baterai, maka mandat elektoral lima tahun adalah kapasitas penuh baterai tersebut. Ketika masa jabatan incumbent berakhir, "baterai kekuasaan" mereka telah habis digunakan sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat. Memperpanjang masa jabatan incumbent sama saja dengan mencoba menggunakan baterai yang sudah kosong, yang secara fungsional tidak lagi memiliki daya (mandat) yang segar. Sebaliknya, menunjuk Pj. dari peraih suara terbanyak berikutnya adalah seperti menggunakan "baterai cadangan" yang, meskipun mungkin tidak memiliki kapasitas sebesar baterai utama (mandat definitif), namun masih memiliki daya (legitimasi elektoral) yang belum terpakai dan cukup untuk mengisi masa transisi. Ini adalah solusi yang lebih efisien dan logis dalam menjaga kesinambungan fungsi, tanpa melanggar prinsip dasar.
Mekanisme penunjukan Pj. ini dapat diatur melalui: (1) usulan dari partai politik yang bersangkutan; (2) verifikasi oleh KPU untuk memastikan basis perolehan suara; dan (3) penetapan administratif oleh Menteri Dalam Negeri. Penting pula untuk mengatur mekanisme fallback jika pemegang suara terbanyak kedua berhalangan, yaitu penunjukan bergeser ke peraih suara berikutnya sesuai urutan.
Kesimpulan