Mohon tunggu...
Usman Taip
Usman Taip Mohon Tunggu... ASN/Analis Hukum Pemerintah Provinsi Gorontalo

Saya seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tertarik dan suka mendalami isu-isu seputar hukum tata negara, khususnya yang berkaitan dengan demokrasi dan pemerintahan. Melalui tulisan-tulisan saya, saya mencoba menganalisis berbagai persoalan hukum dari sudut pandang yang kritis dan praktis, berdasarkan pengalaman saya sebagai birokrat. Saya percaya, pemahaman yang baik tentang hukum dan tata negara sangat penting untuk kemajuan demokrasi kita. Semoga tulisan-tulisan saya bisa bermanfaat dan membuka diskusi yang konstruktif untuk kita semua. Terima kasih sudah mampir!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Implikasi putusan MK tentang Pemisahan Pemilu dan Mekanisme Pengisihan Jabatan DPRD Transisi

3 Juli 2025   16:58 Diperbarui: 3 Juli 2025   18:58 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/4es9Ep8oRZoRGiEs8

Oleh: Usman Taip
Analis Hukum Pemerintah Provinsi Gorontalo

email : koranlaw@gmail.com
 
Pendahuluan
Lanskap politik dan ketatanegaraan Indonesia baru-baru ini diwarnai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025. Putusan ini secara fundamental mengubah desain keserentakan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, dengan memisahkan pemilu nasional (pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat/DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD) dari pemilu daerah (pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD provinsi/kabupaten/kota dan kepala daerah). Implikasi langsung dari putusan ini adalah munculnya jeda waktu antara kedua gelombang pemilu tersebut, yang secara inheren menimbulkan tantangan konstitusional krusial, khususnya terkait masa jabatan anggota DPRD dan kebutuhan akan mekanisme pengisian kekosongan jabatan. Artikel ini akan menganalisis poin-poin penting dalam putusan MK, mengaitkannya dengan prinsip-prinsip hukum tata negara, serta menguatkan argumen mengenai mekanisme pengisian jabatan DPRD transisi yang konstitusional dan demokratis.

Pemisahan Pemilu dan Jeda Waktu: Sebuah Keniscayaan Konstitusional

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengabulkan sebagian permohonan pengujian materiil terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
MK menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Makna bersyaratnya adalah bahwa ketentuan tersebut konstitusional sepanjang ke depan tidak dimaknai sebagai pemilu serentak lima kotak dalam satu hari yang sama. Sebaliknya, MK menegaskan bahwa pemilu nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD) akan dilaksanakan serentak, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR/DPD atau Presiden/Wakil Presiden, dilaksanakan pemilu daerah (DPRD provinsi/kabupaten/kota dan gubernur/bupati/walikota) secara serentak.
Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan mendalam MK yang melihat adanya beban berlebihan pada sistem pemilu serentak sebelumnya. Sebagaimana termaktub dalam pertimbangan hukum putusan (Paragraf [3.16.2] - [3.16.5]), MK mengidentifikasi beberapa persoalan fundamental, antara lain:
1.     Tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu: Mengurangi kualitas penyelenggaraan dan efisiensi masa jabatan penyelenggara yang seharusnya bersifat nasional dan tetap (Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945).
2.     Pelemahan pelembagaan partai politik: Mendorong pragmatisme dalam rekrutmen calon akibat keterbatasan waktu dan sumber daya, melemahkan proses kaderisasi.
3.     Kebingungan pemilih dan tingginya suara tidak sah: Mengikis kualitas kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945) karena pemilih harus menghadapi terlalu banyak pilihan dalam satu waktu. 

Putusan ini, oleh karenanya, adalah upaya constitutional engineering oleh MK untuk mengoptimalkan asas-asas pemilu yang diamanatkan Pasal 22E UUD NRI 1945, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, demi terwujudnya demokrasi yang lebih berkualitas.

Ancaman terhadap Prinsip Pembatasan Kekuasaan: 

Dilema Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Dengan adanya jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun antara pelantikan pejabat nasional dan penyelenggaraan pemilu daerah, akan muncul masa transisi di mana masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 (yang seharusnya berakhir 2029) akan berakhir sebelum pemilu daerah berikutnya (2031). Dalam konteks ini, muncul wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD.
Namun, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD secara otomatis tanpa melalui mekanisme pemilihan ulang oleh rakyat akan melanggar prinsip pembatasan kekuasaan dan kedaulatan rakyat yang diamanatkan konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan "setiap lima tahun sekali." Ini adalah batasan periodik yang fundamental bagi jabatan-jabatan hasil pemilu. Demikian pula, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas mengatur masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun.
Dari perspektif hukum tata negara, prinsip pembatasan kekuasaan (limited government) adalah pilar esensial dalam negara demokrasi. Pembatasan masa jabatan merupakan instrumen vital untuk mencegah penumpukan kekuasaan dan memastikan akuntabilitas pejabat publik kepada rakyat. Perpanjangan jabatan, meskipun dalam konteks transisi, berpotensi mengikis prinsip ini dan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, serta mencederai Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menegaskan "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa legitimasi langsung dari pemilu adalah inkonstitusional.

Mekanisme Penjabat (Pj.) Anggota DPRD: Solusi Konstitusional Berbasis Legitimasi Rakyat.


Mengingat tantangan konstitusional yang serius dari perpanjangan masa jabatan, mekanisme pengisian kekosongan jabatan anggota DPRD melalui penunjukan Penjabat (Pj.) menjadi solusi yang paling konstitusional dan demokratis. Meskipun konsep Pj. secara formal lebih lazim untuk jabatan eksekutif yang bersifat administratif (misalnya Pj. Gubernur), situasi yang diciptakan oleh putusan MK ini memerlukan adaptasi konsep Pj. untuk lembaga legislatif. Penunjukan Pj. anggota DPRD akan mengisi kekosongan fungsional tanpa memberikan legitimasi penuh untuk masa jabatan definitif 5 tahun. Ini adalah bentuk constitutional engineering yang diperlukan untuk menjembatani celah hukum yang muncul.
Untuk menjaga semangat kedaulatan rakyat, penunjukan Pj. anggota DPRD harus memiliki basis legitimasi yang kuat dari rakyat, bukan semata-mata penunjukan administratif. Mekanisme yang paling relevan dan konstitusional adalah sebagai berikut:
1.      Usulan dari Partai Politik: Partai politik yang bersangkutan mengusulkan nama calon Pj. untuk mengisi kursi yang kosong.
2.     Verifikasi oleh KPU: Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki peran krusial untuk memverifikasi dan memastikan bahwa calon yang diusulkan adalah pemilik suara terbanyak kedua atau seterusnya dari daerah pemilihan yang bersangkutan pada pemilu sebelumnya. Ini memastikan bahwa Pj. memiliki basis dukungan rakyat yang terekam secara elektoral, sehingga tidak keluar dari semangat kedaulatan rakyat.
3.     Mekanisme Fallback: Apabila pemilik suara terbanyak kedua mengundurkan diri atau berhalangan, maka penunjukan akan bergeser ke pemilik suara terbanyak berikutnya sesuai dengan urutan perolehan suara. Ini menjamin kontinuitas pengisian kekosongan dan menghindari penunjukan yang arbitrer, serta memastikan setiap Pj. tetap memiliki legitimasi berbasis suara rakyat.
4.      Penetapan Administratif oleh Mendagri: Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kemudian menetapkan penunjukan Pj. anggota DPRD tersebut secara administratif.
Pendekatan ini secara efektif menggabungkan legitimasi politik (melalui basis suara terbanyak kedua) dengan formalitas administratif (melalui penetapan Mendagri), sehingga Pj. yang ditunjuk memiliki dasar yang kuat untuk menjalankan tugasnya.


Fungsi dan Kewenangan Pj. Anggota DPRD: Sama tapi Tidak Definitif


Meskipun berstatus sebagai penjabat yang mengisi kekosongan transisi, Pj. anggota DPRD harus memiliki fungsi dan kewenangan yang sama dengan anggota DPRD definitif. Argumen ini didasarkan pada beberapa pertimbangan krusial:
 ·       Tujuan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah: Untuk memastikan roda pemerintahan daerah berjalan efektif dan tujuan pembangunan tercapai, lembaga legislatif (DPRD) harus dapat berfungsi penuh tanpa hambatan. Membatasi kewenangan Pj. justru bisa melumpuhkan atau memperlambat proses legislasi, pengesahan anggaran, dan fungsi pengawasan yang krusial bagi daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas menguraikan fungsi-fungsi DPRD.
·       Efektivitas Pemerintahan: Dalam teori efektivitas pemerintahan, lembaga legislatif yang berfungsi penuh adalah prasyarat bagi pemerintahan yang responsif dan akuntabel. Jika Pj. DPRD memiliki kewenangan terbatas, ini dapat menghambat koordinasi dan sinergi antara eksekutif dan legislatif di daerah.
·        Perbedaan Status, Bukan Kapasitas Fungsional: Perbedaan antara Pj. dan anggota definitif terletak pada status (sementara) dan masa jabatan (tidak 5 tahun penuh), bukan pada kapasitas fungsional mereka dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Dengan legitimasi yang berasal dari perolehan suara, Pj. memiliki dasar yang kuat untuk bertindak secara penuh dalam fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Kesimpulan
       Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah sebuah keniscayaan untuk menata kembali sistem kepemiluan Indonesia menuju efisiensi dan kualitas demokrasi yang lebih baik. Namun, implikasi jeda waktu antara pemilu nasional dan daerah menuntut "rekayasa konstitusional" yang cermat, khususnya terkait pengisian kekosongan jabatan anggota DPRD. Mekanisme penunjukan Penjabat (Pj.) anggota DPRD, dengan basis legitimasi dari perolehan suara terbanyak berikutnya pada pemilu sebelumnya, serta dengan kewenangan fungsional yang sama dengan anggota definitif, adalah solusi yang paling sejalan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, pembatasan kekuasaan, dan negara hukum. Hal ini akan memastikan kontinuitas fungsi pemerintahan daerah tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar konstitusi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang memiliki tugas mendesak untuk merumuskan regulasi yang komprehensif dan konstitusional guna menindaklanjuti putusan MK ini, demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih kuat dan stabil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun