Sebagai pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) pada hari kerja, hampir dipastikan penulis akan alami dempetan dengan penumpang lain kala naik dari Stasiun Pondok Cina Depok menuju Stasiun Tanah Abang. Begitupun sebaliknya saat pulang, nyaris tak pernah kebagian tempat duduk. Â
Bagi pembaca yang biasa menggunakan KRL di pagi hari pasti kondisi padat, berdesakan, dan berhimpitan tak akan terhindari. Tak jarang petugas keamanan kereta sampai mendorong penumpang masuk ke dalam agar pintu bisa ditutup.
Bisa dibayangkan, dalam kondisi berhimpitan begitu baju rapih berubah kusut, wangi parfum hilang aromanya, keringat bercucuran karena hawa AC justeru kalah oleh hawa tubuh manusia yang berjubel dan lain sebagainya.
'Ala kulli hal, meski dalam susana berhimpitan, bersyukur masih ada rasa solidaritas terpelihara disana, seperti kepada mereka yang tuna netra, ibu hamil dan jompo. Selain itu, kadang ada saja celetukan atau canda dari beberapa penumpang yang memancing senyuman dan seolah memberi semangat penumpang yang lain yang terhimpit.
Bagi orang yang tak biasa naik KRL pada jam sibuk tentu tak jarang memancing emosi kemarahan bahkan adu cekcok dengan penumpang lain. Tetapi bagi yang sudah terbiasa, keadaan itu seolah menjadi sesuatu yang harus dinikmati.
Keadaan itu tidak berubah saat masuki bulan Ramadhan seperti sekarang, kesabaran penumpang seolah diuji terlebih dalam keadaan puasa menahan lapar dan dahaga. Sementara rasa solidaritas mesti tetap terpelihara meski seringkali memancing emosi diri.
Tak berlebihan kiranya bila penulis belajar dari hikmah atas pengalaman itu dikaitkan dengan puasa Ramadhan. Seperti Sabda Rasulullah SAW yang populer di telinga umat muslim: "Banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga" (HR. Ibnu Khuzaimah)
Sabda Rasul itu tentu menegaskan pada umatnya bahwa dalam menjalankan ibadah puasa betul-betul dilakukan dengan totalitas, serius dan sungguh-sungguh demi menggapai esensi puasa, yakni semua anggota tubuh dihindarkan dari perbuatan dosa dan tercela.
Dalam konteks puasa, bagi penulis suasana di KRL bisa dijadikan bahan refleksi atas perilaku keseharian seseorang. Merawat solidaritas dan menjaga rasa aman satu sama lain bisa ditebar lebih luas atas pembiasaan, latihan (riyadloh) dalam kehidupan ditengah masayarakat..
Riyadloh dalam menjalankan puasa Ramadhan yang penulis maksud hendaknya dihantarkan kepada kesadaran rohaniah yang kemudian melahirkan perubahan konstruktif dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Meski puasa disyari'atkan sebagai ibadah individual, tetapi jangan dibiarkan ia hanya memiliki hikmah yang berdimensi jasmaniyah. Lebih dari itu, mesti memiliki hikmah ruhaniyah dan ijtimaiyah (solidaritas).