Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Imlek, Tali Batin Gus Dur pada Tionghoa

8 Maret 2018   23:44 Diperbarui: 27 Maret 2018   11:23 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: VOA ISLAM

Jelang libur imlek lalu, penulis melewati sebuah jalan yang tidak terlalu lebar persis dibelakang bangunan pasar Palmerah untuk sebuah urusan. Tak jauh dari pasar itu mendapati sebuah bangunan serba merah berarsitektur Tionghoa yang terpampang tulisan Hian Thian Siang Tee pada gapuranya.

Bangunan kelengteng atau rumah ibadah bagi umat Tionghoa itu sudah berusia 200 tahun lebih. Penulis sedikit tahu sehubungan pernah tinggal kost di kawasan yang tak jauh dari bangunan itu pada awal-awal masa kerja di DPR RI.

Tiap kali menghadapi tahun baru imlek, kelenteng itu selalu menampilkan wajahnya yang tak biasa, meskipun hari-harinya memang selalu berpenampilan eksotik dengan desain dan serta dekorasi bangunan yang nampak mencolok.

Bila dihari biasa lampion yang dipasang jumlahnya lebih sedikit dibanding saat sambut hari spesial Imlek, sudah barang tentu setiap ruang kosong dikelenteng itu dipenuhi dengan lampion bertuliskan aksara Tionghoa yang seolah ingin menampakkan pesona lebih nyentrik.

Begitulah rutinitas pengurus dan jemaah di kelenteng itu setiap tahun dalam menyambut tahun baru Imlek. Meningkatnya intensitas kegiatan di rumah ibadah mereka itu tentu membawa harapan supaya kehidupan mereka dilimpahi kebaikan ditahun berikutnya.

Yang membuat penulis berkesan, keberadaan kelenteng yang keluarkan aroma dupa itu tak jauh dengan bangunan mesjid At-Taqwa yang biasa digunakan warga muslim diwilayah itu untuk jalankan aktifitas ibadahnya. Bukti bahwa harmoni diantara kedua tempat ibadah dan jemaahnya nyaris tak pernah mati.

Harmoni yang terbangun sejak lama dikawasan itu tak menyurutkan rasa empati, tenggang rasa dan toleransi diantara jemaah kelenteng dan jemaah mesjid. Bahkan tak jarang, diantara keduanya saling membantu dan mendukung bila salah satunya menyelenggarakan acara keagamaan masing-masing.

Nyaris tidak pernah terdengar kejadian yang berujung pada perselisihan dengan melibatkan warga lintas iman disana. Perbedaan keyakinan diantara warga disana bukan alasan bagi mereka untuk tidak membangun harmoni dalam kehidupan bermasyarakat sehingga kedamaian senantiasa terpelihara hingga kini.

Sekedar contoh, bila datang hari spesial seperti perayaan tahun baru Imlek tak jarang pengurus kelenteng menghimpun sembako sebagai belas kasih jemaah bekelebihan rejeki untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar yang membutuhkan.

Dekatnya jarak kelenteng dan masjid disana seolah menjadi potret toleransi bagi warga Palmerah yang mayoritas pendatang. Lebih dari itu, penduduknya yang beragam dengan latar belakang suku, ras dan agama menambah suasana damai di hati.

Suasana sibuk dan ramainya aktifitas jual beli para pedagang pasar Palmerah yang bahkan selalu meluber ke sepanjang jalan Gelora IX tak membuat kelenteng dan mesjid itu kehilangan heningnya.

Jasa Gus Dur

Seluruh dunia tahu jika Gus Dur adalah orang yang paling berjasa membuka keran bagi kaum Tionghoa Indoneisa yang kemudian bisa leluasa merayakan imlek secara terbuka. Tidak seperti zaman orde baru, mereka hanya diperbolehkan jalankan akifitas keagamaannya dirumah saja.

Betapa tidak, kebudayaan Tionghoa dimasa itu dilarang dan tak tanggung-tanggung Presiden Soeharto membuat satu Intruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 yang melarang kebudayaan, adat istiadat dan tradisi Tionghoa diselenggarakan secara terbuka.

Gus Dur sebagai penganut paham Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin(rahmat bagi alam semesta) tentu terusik suasana batinnya atas Inpres itu. Tidak ada alasan baginya untuk tidak membuat manusia semakin beradab, begitupun dengan etnis Tionghoa dalam menjalankan dan merawat adat istiadat dan tradis nenek moyangnya.

Sebagai manusia, mereka memiliki hak hidup yang sama dengan warga negara indonesia lain tanpa embel-embel diskriminasi. Atas dasar komitmen itulah beliau mencabut Inpres No. 14/1967 tadi pada saat beliau menjabat Presiden RI ke 4 yang selanjutnya menjadi cikal bakal Imlek sebagai Hari Libur Nasional.

Penulis kira bukan karena alasan Gus Dur yang pernah secara terbuka menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Beliau mengaku sebagai keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa),pendiri Kesultanan Demak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid)

Menurutnya, Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Lalu, Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais, Tan Kim Han sendiri diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Pengakuan itu sontak membuat orang terperanyak saking tidak percayanya. Bukan Gus Dur bila tak memuat kontroversi. Terlepas benar atau tidaknya pengakuan itu, sekali lagi bukan alasan utama Gus Dur pasang badan kaum Tionghoa atas diskriminasi dari pemerintah yang dialaminya.

Tentu kita masih ingat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial, hukum dan lainnya pada tahun 1998, Gus Dur tiba-tiba bermanuver dan dianggap sulit dinalar. Bahkan dianggap “gila” karena sikapnya bertentangan dengan pendapat umum yang “mengkambing hitamkan” kaum Tionghoa sebagai penyebab krisis ekonomi saat itu.

Tak ayal tragedi kerusuhan Mei 1998, etnis Tionghoa banyak mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari warga pribumi. Toko dan rumah-rumah mereka dijarah, dan konon dalam tragedi ini menelan banyak korban jiwa. Akibatnya, banyak orang Tionghoa kemudian melarikan diri ke luar negeri.

Masih ingat pula penulis kala Gus Dur berseru kepada keturunan Tionghoa yang berada di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia bahkan dengan menjamin keselamatan mereka. Itulah bukti nyata pembelaanya terhadap kaum Tionghoa, bukan sekedar isapan jempol.

Sebagai orang yang memiliki kedalaman spiritual, Gus Dur sadar betul bahwa manusia dengan manusia lainnya harus diposisikan setara tanpa dilatari perbedaan etnis. Memusuhi, membatasi, melukai dan mencederainya sama artinya inkar terhadap kemulyaan Tuhannya. Itulah warisan luhur pemikiran Humanisme Islam Gus Dur.

Tali Batin

Berdasarkan bacaan penulis yang didapat dari buku-buku tentang Gus Dur. Tali batin beliau terhadap kaum Tionghoa tidak sekedar berkaitan dengan pembelaan terhadapnya. Lebih dari itu beliau mengadopsi banyak ilmu atas keluhuran peradabannya.

Menjadikan Imlek sebagai sebuah perayaan yang terbuka layaknya lebaran umat Islam atau Natalnya orang Kristen dan perayaan keagamaan lainnya disinyalir bagian ikhtiar Gus Dur menghantarkan warga Pribumi untuk ambil pelajaran sebanyak-banyaknya dari kaum Tionghoa.

Bahkan atas pengakuan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai orang yang selalu dekat dengan kehidupan Gus Dur, Cak Imin menyebut Gus Dur bisa menjadi presiden RI ke-4 meski bermodal dengkul adalah buah beliau belajar dari peradaban dan ilmu-ilmu Tiongkok.

Menurutnya seperti yang dilansir detik.news (12/2/2018), Gus Dur mewariskan lima unsur yang harus dijalankan manusia dalam mengikat tali kehidupannya. Pertama, memperluas jaringan. Dalam keyakinan Islam dikenal dengan silaturahim, diantara faedahnya yakni memperluas rejeki dengan berjejaring sehingga menjadi modal dan sumber memudahkan segala urusan.

Kedua, Gus Dur warisi kita hok kie (keberuntungan). Hindari sikap pesimistis dalam jalani kehidupan. Merawat optimisme adalah jalan ikhtiar bangkitkan energi positif pada diri kita dengan didasari niat baik.

Ketiga, hong shuiatau aspek spiritualitas. Setiap hubungan antara manusia dengan Tuhan harus diimbangi dengan hubungan ia dengan manusia dan lingkungan sekitarnya. Saling  menghargai setiap umat beragama adalah niscaya.

Keempat, Cheng lieatau saling timbal balik.  Setiap diri warga harus bisa saling merasakan kebahagiaan dan kesusahan masing-masing. Egoisme atau rasa ingin menang sendiri hanya akan mencederai perasaan orang lain yang pada ujungnya akan mengaburkan kebahagiaan.

Kelima, cing cay atau kompromi. Saling tepo seliro, saling paham kebutuhan masing, saling toleransi dengan mengedepankan musyawarah untuk menjaga keputusan baik. Tidak ekslusif, merasa diri pang benar apalagi saling ngotot.

Semua unsur tadi merupakan pilar peradaban kaum Tionghoa yang selami Gus Dur dan diwariskan kepada orang-orang terdekatnya, lebih luar bangsa Indonesia yang miliki keragaman adat, budaya, suku, ras, agama dan lainnya. 

Tak berlebihan kiranya bila nama Gus Dur selalu disebut setiap kali perayaan Imlek menggema seantero negeri ini. Bapak Tionghoa yang disematkan kepadanya adalah bentuk penghargaan yang tak ternilai supaya tali batin Gus Dur dan penerusnya tidak lagi memutus silaturahim dengan kaum Tionghoa, apalagi mendiskriminasinya.

Setiap kita menyadari bahwa bumi yang dipijak adalah tempat belajar bagi para pendosa. Bila sikap merasa diri paling suci dan seolah menjadi pemilik surga dipraktekkan, pada saat yang sama ia telah ingkari kesucian Tuhan.

Penulis adalah peminat masalah sosial, politik & keagamaan. Tinggal di Depok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun