"Gampang buat lo ngomong gitu. Lo bisa kerja dari mana aja, jam fleksibel, klien bule yang ngerti 'mental health'. Sedangkan gue? Deadline tiap hari, bos cerewet, WhatsApp grup kerja 24 jam hidup. Lo pikir gue bisa seenaknya bilang 'gue mau waktu buat diri gue sendiri'?"
Rani menatapnya tajam, tapi masih sabar. "Justru karena lo ngerasa hidup lo dikontrol kerjaan, lo harus mulai ngambil kontrol balik. Man, hidup bukan cuma soal kerja."
Arman menghela napas, panjang. "Tapi kerja itu penting, Ran. Gue gak mau jadi orang yang nyesel karena kariernya stagnan cuma gara-gara pengen 'me time'."
"Kerja penting, yes. Tapi lo tahu nggak, terlalu fokus sama kerjaan itu bisa ngerusak hal-hal yang lebih penting. Lo masih inget nggak ungkapan, 'Ketika lo tua nanti, lo nggak bakal nyesel soal kerjaan yang gak selesai, tapi lo bakal nyesel karena gak cukup waktu bareng keluarga dan orang-orang yang lo sayang.'"
Arman mendengus pelan. "Klise."
"Ya mungkin klise, tapi benar. Lo sekarang kerja keras buat siapa? Buat nyokap lo? Tapi kapan terakhir kali lo makan bareng sama dia tanpa sambil buka HP?"
Arman terdiam. Angin sore menggerakkan rambutnya yang sudah acak-acakan. Ia menunduk, meremas jari-jarinya.
"Keseimbangan itu bukan berarti lo harus nyantai tiap hari, Man. Tapi lo tahu kapan harus kerja, kapan harus berhenti, dan kapan harus hidup," ujar Rani lebih lembut.
"Gue gak tahu mulai dari mana," gumam Arman akhirnya.
"Mulailah dari nanya ke diri lo: apa yang paling penting? Lalu kudu bikin prioritas. Set waktu kerja dan waktu istirahat. Matikan notifikasi kerja di luar jam kantor. Lo juga punya hak buat bahagia, bro."
Arman menatap langit yang mulai gelap. Mentari sudah benar-benar tenggelam.