Langit mulai meremang di atas kota. Awan bergerak pelan menutupi langit yang berwarna jingga, menyapu sore dengan lembut. Di atas atap sebuah rumah kos tua di sudut Jakarta Selatan, dua sosok duduk bersisian. Arman, mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia ganti sejak siang tadi, dan Rani, sahabat lamanya yang baru beberapa hari kembali dari Melbourne, setelah lima tahun mengejar karier dan kuliah.
Di tempat itu, mereka berdua pernah berbagi banyak hal di masa muda: obrolan panjang, mimpi besar, juga patah hati yang konyol. Kini, setelah berbulan-bulan tak bertemu, mereka duduk di bangku kayu lapuk yang masih tersisa sejak masa kuliah.
"Aneh ya," gumam Arman, menatap langit, "dulu kita suka ngelamun di sini, ngebayangin masa depan. Sekarang... kita udah di masa depan, tapi kok rasanya hampa."
Rani menoleh, menatap wajah lelah sahabatnya. "Lo kenapa, Man?"
"Capek," jawabnya pendek. "Kerja tiap hari kayak dikejar setan. Laptop gak pernah tutup, HP gak berhenti bunyi. Tapi di tengah semua itu... gue ngerasa kayak kehilangan arah."
Rani tersenyum simpul. "Gue tahu rasanya. Gue juga pernah kayak gitu."
"Lo pernah? Bukannya lo hidupnya adem banget di Melbourne sana? Bisa yoga tiap pagi, brunch tiap weekend, liburan ke New Zealand?"
Rani terkekeh. "Itu yang lo liat dari Instagram. Tapi sebenernya, gue juga pernah ngerasa kayak lo. Kehilangan arah, burnout, bingung hidup ini buat apa. Sampai akhirnya gue belajar satu hal penting: balance."
"Balance?" Arman menoleh sambil mengangkat alis, skeptis. "Lo pikir itu semudah muter tombol volume? Ini bukan soal gue gak tahu pentingnya 'keseimbangan', Ran. Tapi hidup gak ngasih pilihan buat itu."
"Lho, siapa bilang gak ada pilihan? Yang seringkali gak ada tuh keberanian buat milih," jawab Rani kalem.