Ketika hukum tak kunjung menyelesaikan, masyarakat mulai mempertanyakan: apakah keadilan hanya milik mereka yang punya kuasa bicara di pengadilan?
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo telah membawa dua orang ke penjara: Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover, dan Gus Nur (Sugi Nur Raharja), penceramah yang lantang bersuara di kanal media sosial. Keduanya divonis enam tahun penjara. Tuduhannya, menyebarkan informasi bohong yang menimbulkan keonaran.
Tapi apakah itu menjawab persoalan?
Tidak!
Alih-alih menyelesaikan masalah, ironisnya, penyelesaian hukum justru menimbulkan cabang masalah baru: ketidakpuasan publik, polarisasi opini, dan keraguan terhadap sistem peradilan.
Dalam situasi seperti ini, jalan tengah yang berkeadaban perlu ditempuh. Fikih Islam, yang selama ini kita anggap sebatas urusan ibadah, justru menawarkan pendekatan sosial-politik yang sangat relevan. Salah satunya menggunakan lembaga al-tahkim.
Istilah tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya 'menyerahkan putusan kepada seseorang dan menerima putusan tersebut'. Sedangkan menurut istilah, tahkim ialah 'dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum syara' atas sengketa mereka itu'.
Menurut kamus al-Munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim secara terminologis berarti 'mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang mereka selisihkan secara damai'. Sedangkan istilah sekarang tahkim  dapat diterjemahkan sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam.
Dalam Islam, penyelesaian perkara yang memicu keresahan publik tidak cukup selesai di balik pintu ruang sidang. Ia perlu dimusyawarahkan secara terbuka, dengan prinsip: menjaga keadilan, kehormatan individu, dan ketenangan sosial. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Janganlah seseorang menuduh orang lain fasiq atau kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepadanya jika ternyata saudaranya tidak demikian." (HR. Bukhari dan Muslim).