Ketika Panggung Sepi dan Batik Khas Belum Ada
Anjani tumbuh dalam keluarga seniman. Ayahnya, Agus Tubrun, adalah pendiri komunitas Bantengan Nuswantara, sedangkan ibunya seorang penari. Sejak kecil ia akrab dengan seni. Namun ketika dewasa, ia mendapati kenyataan pahit bahwa Bantengan semakin jarang digelar, bahkan dianggap usang.
Di sisi lain, Kota Batu yang terkenal dengan apel dan wisata alamnya, nyaris tidak punya batik khas. Padahal hampir setiap kota di Jawa Timur memiliki identitas batiknya masing-masing. Kegelisahan ini membuat Anjani berpikir: jika tidak ada yang bergerak, dua warisan sekaligus bisa hilang yaitu Bantengan dan identitas batik Batu.
Masalah lain muncul ketika Anjani mendirikan sanggar batik. Anak-anak muda enggan membatik karena dianggap pekerjaan lamban, kotor, dan tak menjanjikan. Belum lagi risiko desain dijiplak jika dipasarkan secara daring. Singkatnya, melestarikan budaya di era digital ternyata lebih sulit daripada membatik itu sendiri.
Sanggar Andhaka, Ekstrakurikuler dan Skema 90% untuk AnakÂ
Di sinilah Anjani menunjukkan visi sosialnya. Pada 2014 ia mendirikan Sanggar Batik Tulis Andhaka. Sanggar ini bukan hanya tempat produksi, tapi juga ruang belajar, panggung pameran, dan destinasi wisata edukasi.
Berbeda dari kebanyakan pengusaha, Anjani justru memilih melibatkan anak-anak prasejahtera sebagai pembatik. Alasannya sederhana yaitu ide mereka lebih segar, ekspresif, dan mereka belajar tanpa menuntut hasil instan. Anjani percaya, dari tangan mereka lahir karya yang otentik.
Sistem bagi hasil yang diterapkan pun tak lazim. Dari setiap kain batik yang terjual Rp500 ribu, 90 persennya kembali ke anak-anak pembatik dalam bentuk upah, tabungan, hingga biaya sekolah. Anjani hanya mengambil 10 persen untuk pajak, kemasan, dan operasional.
Anjani juga aktif mengadvokasi pemerintah. Hasilnya, sejak 2017 Batik Bantengan masuk ke kegiatan ekstrakurikuler sekolah-sekolah di Batu. Lebih dari 200 siswa belajar membatik, bahkan 36 di antaranya sudah menjadi tutor cilik. Bayangkan, anak SD mengajar membatik di sekolah lain, sungguh sebuah revolusi kecil dalam pendidikan budaya.
200 Lembar / Bulan, Rp40 Juta dan Pemeran Mancanegara