Aroma malam batik di lereng Gunung Arjuno bercampur dengan hawa apel yang semerbak menghampiri saat kita berkunjung di Kota Batu. Tangan-tangan mungil anak-anak sibuk menorehkan malam cair ke kain putih, seakan menulis puisi dengan lilin. Di tengah mereka, berdiri seorang perempuan dengan senyum tulus, Anjani Sekar Arum. Ia bukan sekedar pengusaha batik, Anjani adalah penjaga cerita, seorang seniman yang mengubah wasiat leluhur menjadi motif hidup di atas kain.
Banyak orang mengenalnya sebagai "Anjani Bantengan." Julukan itu bukan kebetulan. Dari ruang kelas hingga panggung dunia, ia selalu membawa satu pesan: tradisi tidak boleh mati, karena di dalamnya ada napas identitas.
Anjani Bantengan: Tradisi yang Dihidupkan Kembali
Melalui Batik Bantengan, Anjani tidak sekedar menciptakan corak khas Kota Batu. Ia juga menyalakan kembali api tradisi Bantengan yang hampir padam. Karyanya menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, tempat seni tradisional bertemu dengan ekonomi kreatif. Dari sana, anak-anak prasejahtera tumbuh menjadi seniman muda, dan Kota Batu yang sempat kehilangan identitas kini menemukan kembali kebanggaannya.
Apa itu Bantengan dan Mengapa Penting?
Bagi sebagian orang, Bantengan hanyalah atraksi rakyat. Namun bagi masyarakat Batu, Bantengan adalah jiwa. Seni ini berupa pertunjukan tari dengan kostum kepala banteng, diiringi musik gamelan dan lecutan cemeti. Para penari sering kali mengalami trance, seolah roh leluhur hadir menuntun gerakan mereka. Bantengan adalah simbol keberanian, kekuatan, sekaligus spiritualitas.
Namun, seperti banyak tradisi lainnya, Bantengan nyaris tergerus modernisasi. Generasi muda lebih mengenal K-Pop daripada gamelan. Panggung Bantengan kalah ramai dibanding konser musik elektronik. Di titik itulah Anjani melangkah. Ia membawa Bantengan ke medium baru yaitu batik tulis.
"Bagi saya, batik adalah identitas daerah. Kalau Batu tidak punya corak khas, sama saja kita kehilangan jati diri," ujar Anjani suatu kali. Dari keresahan itu lahirlah motif Batik Bantengan yaitu kepala banteng gagah, kera jenaka, harimau, bunga tujuh rupa, cemeti, hingga tabuhan musik tradisional. Semua tertuang di kain, menjadi narasi visual yang bisa dipakai, dipamerkan, bahkan dibawa lintas negara.
Ketika Panggung Sepi dan Batik Khas Belum Ada
Anjani tumbuh dalam keluarga seniman. Ayahnya, Agus Tubrun, adalah pendiri komunitas Bantengan Nuswantara, sedangkan ibunya seorang penari. Sejak kecil ia akrab dengan seni. Namun ketika dewasa, ia mendapati kenyataan pahit bahwa Bantengan semakin jarang digelar, bahkan dianggap usang.
Di sisi lain, Kota Batu yang terkenal dengan apel dan wisata alamnya, nyaris tidak punya batik khas. Padahal hampir setiap kota di Jawa Timur memiliki identitas batiknya masing-masing. Kegelisahan ini membuat Anjani berpikir: jika tidak ada yang bergerak, dua warisan sekaligus bisa hilang yaitu Bantengan dan identitas batik Batu.
Masalah lain muncul ketika Anjani mendirikan sanggar batik. Anak-anak muda enggan membatik karena dianggap pekerjaan lamban, kotor, dan tak menjanjikan. Belum lagi risiko desain dijiplak jika dipasarkan secara daring. Singkatnya, melestarikan budaya di era digital ternyata lebih sulit daripada membatik itu sendiri.
Sanggar Andhaka, Ekstrakurikuler dan Skema 90% untuk AnakÂ
Di sinilah Anjani menunjukkan visi sosialnya. Pada 2014 ia mendirikan Sanggar Batik Tulis Andhaka. Sanggar ini bukan hanya tempat produksi, tapi juga ruang belajar, panggung pameran, dan destinasi wisata edukasi.
Berbeda dari kebanyakan pengusaha, Anjani justru memilih melibatkan anak-anak prasejahtera sebagai pembatik. Alasannya sederhana yaitu ide mereka lebih segar, ekspresif, dan mereka belajar tanpa menuntut hasil instan. Anjani percaya, dari tangan mereka lahir karya yang otentik.
Sistem bagi hasil yang diterapkan pun tak lazim. Dari setiap kain batik yang terjual Rp500 ribu, 90 persennya kembali ke anak-anak pembatik dalam bentuk upah, tabungan, hingga biaya sekolah. Anjani hanya mengambil 10 persen untuk pajak, kemasan, dan operasional.
Anjani juga aktif mengadvokasi pemerintah. Hasilnya, sejak 2017 Batik Bantengan masuk ke kegiatan ekstrakurikuler sekolah-sekolah di Batu. Lebih dari 200 siswa belajar membatik, bahkan 36 di antaranya sudah menjadi tutor cilik. Bayangkan, anak SD mengajar membatik di sekolah lain, sungguh sebuah revolusi kecil dalam pendidikan budaya.
200 Lembar / Bulan, Rp40 Juta dan Pemeran Mancanegara
Perlahan, langkah Anjani mulai membuahkan hasil. Kini Batik Bantengan dikenal luas dan telah dipamerkan di berbagai negara, antara lain Praha (2018), Taiwan (2019), India (2020), Malaysia (2021), Singapura (2022), dan Australia (2023). Galerinya di Desa Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, juga menjelma menjadi destinasi wisata baru yang melengkapi daya tarik kebun apel dan sumber air yang lebih dulu populer.
Dampak sosialnya terasa nyata. Anak-anak yang dulu hidup dalam keterbatasan kini mampu menabung dan membantu biaya sekolah dari hasil membatik. Anjani menerapkan sistem bagi hasil 90:10. Dari setiap lembar batik yang dijual seharga Rp500.000, sekitar Rp450.000 (90%) dikembalikan untuk pembatik muda. Komponen itu terbagi dalam tiga bagian: 60% untuk upah langsung, 20% untuk tabungan pendidikan, dan 10% untuk biaya sekolah atau kebutuhan belajar. Sisanya, 10% (Rp50.000) digunakan untuk pajak, kemasan, serta operasional sanggar.
Sebelum tahun 2017, Kota Batu bahkan belum memiliki batik khas sendiri, dan kegiatan membatik nyaris tidak dikenal di sekolah-sekolah. Kini, Sanggar Batik Tulis Andhaka mampu memproduksi sekitar 200 lembar batik per bulan dengan omzet rata-rata Rp40 juta, sebagian besar mengalir kembali kepada para pembatik muda. Lebih dari itu, sebanyak 36 siswa telah menjadi tutor cilik yang mengajarkan batik di sekolah lain, sebuah lompatan besar dari masa ketika tradisi ini nyaris tidak tersentuh generasi muda.
Secara budaya, Bantengan pun menemukan bentuk baru. Bantengan tidak lagi sekedar tontonan musiman, tetapi hadir dalam motif kain yang menembus ruang tamu, kantor pemerintahan, hingga pasar internasional. Untuk melindungi karyanya dari duplikasi, Anjani mendaftarkan desain Batik Bantengan ke Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan mempublikasikan katalog digital dengan watermark dan detail terbatas di akun resmi sanggar di Instagram dan YouTube.
Kini, Kota Batu memiliki batik khas yang diakui, sekaligus menjaga roh Bantengan agar tetap hidup dan berdenyut dalam setiap guratan malam di kain.
Cerita-Cerita Kecil yang Menghidupkan
Banyak kisah lahir dari perjalanan ini. Salah satunya tentang Aliya, gadis sembilan tahun yang pertama kali belajar membatik di sanggar. Kini ia tumbuh sebagai pembatik andal, sekaligus pengajar. Ada juga cerita tentang pameran di Praha, ketika Anjani hanya bisa membawa sepuluh lembar batik karena keterbatasan waktu. Namun justru dari keterbatasan itulah dunia mengenal Batik Bantengan.
Anjani sendiri menolak disebut pengusaha. "Saya lebih senang disebut seniman. Karena seniman itu selalu membawa manfaat untuk masyarakat," katanya. Baginya, seniman adalah pegiat sosial: bukan soal memberi uang, tapi memberi kebahagiaan, memberi arti.
Menjaga Roh Tradisi di Kain
Kisah Anjani Sekar Arum adalah bukti bahwa pelestarian budaya bukanlah pekerjaan romantis belaka. Pelestarian budaya adalah perjuangan panjang, sering kali melawan arus modernisasi, bahkan melawan logika bisnis. Namun justru di situlah letak keindahannya di mana seni yang lahir dari cinta mampu menjadi sumber ekonomi, pendidikan, dan identitas.
Batik Bantengan mengajarkan kita bahwa setiap helai kain bisa menyimpan lebih dari sekedar motif. Batik juga menyimpan doa, cerita leluhur, sekaligus harapan untuk masa depan.
Kini pertanyaannya adalah apa yang bisa kita lakukan?
Apakah cukup hanya membeli batik khas daerah ketika ada pameran? Atau maukah kita ikut mendukung anak-anak muda yang berjuang melestarikan tradisi?
Seperti yang dikatakan Anjani, "Bantengan itu warisan nenek moyang kita, dan kita memiliki kewajiban untuk melestarikannya."
Mungkin kita tidak semua bisa membatik. Namun kita bisa ikut menjaga, mengenakan, menceritakan, dan bangga dengan budaya sendiri. Karena tradisi hanya akan hidup jika ada yang terus merawatnya.
Referensi:
Kreasi Anjani Sekar Arum Jaga Seni Batik dan Tradisi Bantengan Melalui Motif Ikoniknya
Batik Bantengan: Perjuangan Anjani Sekar Arum dalam Melestarikan Seni dan Pemberdayaan Masyarakat
https://www.gubukinspirasi.id/2024/10/batik-bantengan-perjuangan-anjani-sekar.html
Mengenal Anjani Sekar Arum dan Usaha Pelestarian Batik Bantengan
Anjani Sekar Arum Melestarikan Batik Banteng Agung yang Ikonik Khas Kota Batu
https://malanghits.pikiran-rakyat.com/tokoh/pr-3488763448/anjani-sekar-arum-melestarikan-batik-banteng-agung-yang-ikonik-khas-kota-batu?page=all
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI