Mohon tunggu...
Untung Wardoyo
Untung Wardoyo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Tirulah Kehidupan Lebah ~ Penggagas SBILO (Sistim Bisnis & Investasi Lebah Orbit) ~ Pendiri gerai SBILO ( https://gsbilo.blogspot.com )

Lahir di kota Bogor 1970. Selulus dari SMAN 2 Bogor tahun 1989, beruntung ia bisa langsung bekerja di sebuah BUMN bidang jasa transportasi udara. Namun ketika perusahaan tempatnya bekerja mengalami krisis finansial dan menawarkan kesempatan pensiun dini pada seluruh karyawannya, ia memutuskan undur diri mengikuti program tersebut. Akhirnya sejak Jan' 2007 hingga kini, ia tekuni profesi barunya sebagai Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berbagi Kebahagiaan

4 Desember 2020   09:17 Diperbarui: 4 Desember 2020   09:38 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu kalau melihat film si Kabayan datang ke kota membawa Ayam, Petay, Jengkol, Pisang, penulis tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi setelah penulis sempat tinggal di kampung dan menjadi orang kampung selama ± 5 tahun (2012 – 2017), di sebuah desa kecil di Kuningan Jawa Barat, penulis justru mentertawakan diri sendiri. Penulis akhirnya memahami kenapa si Kabayan berbuat seperti itu. Budaya berbagi di kampung adalah hal biasa, meskipun hanya sekedar berbagi 2 potong ikan asin plus sambel sesendok.

Begitulah hidup di desa...! Kealamiahan alam, keramah tamahan penduduk, ketulusan, kebersamaan dalam bermasyarakat, semua adalah pesona yang sulit ditemui di kota-kota besar. Nuansa silaturahim di desa begitu kental terasa, sehingga berimbas jiwa bertaburkan bahagia. Mungkin hal itu yang membuat desa senantiasa ‘memicu rindu’ warga kota, untuk pulang kampung di saat musim liburan. Terlebih di hari Idul Fitri.

Berbincang-bincang Idul Fitri, ada sedikit cerita terkait hal tersebut.

Setelah sebelumnya mengumpulkan informasi terkait jasa pengiriman barang antar kota, suatu hari penulis berencana hendak mengirim 2 dus berukuran sedang (isinya buah Mangga) ke Jakarta. Mangga hasil panen dari 3 pohon Mangga yang tumbuh di halaman dan kebun belakang.

Masalahnya sarana transportasi di desa tidak seperti di kota-kota besar yang lalu lalang setiap saat. Kalau punya kendaraan pribadi sih kelar masalahnya, berhubung tidak punya maka penulis harus menjinjing dan memanggul sendiri ke 2 kardus berbobot lumayan berat itu, untuk dipaketkan melalui JNE yang lumayan jauh tempatnya (± 3 – 4 km) dari kediaman penulis.

Apakah melelahkan? Tentu saja melelahkan. Betapa tidak? Tangan rasanya lemes, kaki pegal-pegal semua. Semua itu dikarenakan tali rafia pengikat salah satu dus terputus, ketika memuat ke dalam angkot menuju terminal. Setiba di terminal penulis harus ganti lagi angkot untuk sampai ke lokasi JNE berada. Baju sampai setengah basah oleh keringat saat angkot ‘ngetem’ cukup lama. Tetapi semua kelelahan itu segera sirna setelah urusan tuntas dan tiba kembali di rumah.

Dua hari kemudian, selepas dzuhur adik ipar mengabarkan paketnya sudah diterima. Hati terhibur ketika ia bilang “Paketnya sudah diterima, mas...! Kok enggak bilang-bilang kalau mau kirim? Mama tanya (kini sudah tiada), banyak sekali kirimnya? Di rumah sendiri masih ada stock enggak, disana kan pasti harus bagi-bagi sama tetangga?”

Dengan penuh suka cita penulis balik membalas, “Alhamdulillah. Sampaikan ke mama tidak usah khawatir, disini masih banyak kok. Tadinya mau kirim 3 kardus, tetapi berhubung tangan hanya 2, repot bawanya. Salam buat semua.” Adik ipar pun menjawab, “Ya mas, salam buat keluarga.”

Setelah perbincangan jarak jauh itu berakhir, spontan terselip hawa menyejukkan hati. Penulis bahagia Mangga-mangga itu berhasil tiba di Jakarta sebelum Ramadhan berakhir. Meskipun sedih tidak dapat bersilaturahim saat Idul Fitri nanti, namun manisnya buah-buah itu telah menjaga kesucian tali silaturahim yang tidak dapat tertunaikan.

Apakah bahagia itu?

Perasaan bahagia memang sulit untuk dilukiskan. Apakah dengan begitu kita tidak dapat mengupayakan pendekatan untuk memahaminya? Tentu saja bisa. Bukankah Udara (Oksigen) tidak berwujud pun kehadirannya bisa dirasakan? Apakah yang dirasakan saat seseorang tengah menghirup Udara (Oksigen) yang tidak berwujud itu? Rasanya segar dan nyaman.

Begitu pula dengan bahagia. Meskipun perasaan BAHAGIA tidak berwujud, tetapi rasanya tetap NYATA dan BISA dirasakan oleh siapapun. Apakah yang dirasakan ketika kita menghirup udara bahagia? Bathin tenang, hati tenteram, jiwa merasa damai. Betul...? Itulah BAHAGIA. Sebagaimana definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

BAHAGIA adalah perasaan tenang, tenteram, damai. 

Sehingga:

KEBAHAGIAAN adalah rangkaian bahagia-bahagia yang dirasakan.

Orang sering mengidentikkan kepuasan adalah kebahagiaan. Padahal terdapat perbedaan yang membatasi diantara keduanya. Barang siapa mampu memahami hal tersebut, niscaya dirinya tidak lagi mudah diperbudak oleh pernak pernik duniawi.

Cermatilah...!

     “Suatu hari ada seseorang yang tampaknya terlihat PUAS sekali, karena dendam kesumatnya tersalurkan saat ia melihat musuhnya mati terkapar di hadapannya. Pertanyaannya, apakah si Pembunuh itu tengah merasa BAHAGIA?”
     “Bukankah BAHAGIA perasaan tenang - tenteram - damai?
     “Faktanya..., kenapa si Pembunuh itu justru gelisah, cemas, galau, resah, was-was, khawatir, takut apabila perbuatannya diketahui orang lain?”
     “Mungkinkah si Pembunuh itu dikatakan sebagai orang yang BAHAGIA, sementara hatinya diliputi kegelisahan, rasa was-was, kecemasan, keresahan?”
     “Tidak mungkin...!”
     “Namun di lain waktu si Pembunuh sadis itu terlihat menitikkan air mata. Ia merasa bahagia karena berhasil menyelamatkan seorang nenek tua yang hampir mati dibunuh sekawanan Perampok.”

Dari perumpamaan itu menjadi jelas. Perasaan puas dan bahagia tentu dapat (berhak) dinikmati oleh siapapun. Tidak peduli apakah orang itu hidup di dunia putih atau pun di dunia hitam. Tetapi agaknya, bahagia tidak mungkin diperoleh dengan cara-cara kotor. Sudah menjadi ketentuan-Nya:

BAHAGIA hanya dapat dinikmati melalui cara-cara yang bersih

Usah berharap hidup BAHAGIA jika seseorang masih menempuh cara-cara kotor. Rumah indah tidak menjamin penghuninya menikmati keindahan bilamana lantai yang dipijaknya kotor.

Mari gali lebih dalam...! 

Sampai dengan saat ini, jika Febri harus membayangkan kejadian 10 tahun yang lalu, ia masih ingat benar serta dapat merasakan bagaimana rasanya menunggu kelahiran buah hatinya pertama kali di rumah sakit malam itu. Ada was-was, cemas, gelisah, takut dan sebagainya.

Dalam sedetik saja ia merasakan perasaan-perasaan tidak menentu itu muncul secara bersamaan dan menghantui. Pikirnya apakah proses persalinan nanti berjalan lancar, atau tidak? Apakah istri dan anaknya akan selamat, atau tidak? Apakah anak yang terlahir nanti keadaan fisiknya akan sempurna, atau tidak? Atau sebaliknya?

Saat terlintas pikiran semacam itu, kontan debar di dadanya berdetak lebih keras. Perasaan khawatir, was was, bingung, cemasnya semakin memuncak. Sampai-sampai percaya diri yang biasanya ia miliki, terhempas akibat ketegangan yang dirasakan. Ketika mengalami hal itu, tidak ada lagi pikiran anaknya yang terlahir nanti apakah laki-laki atau perempuan lagi. Yang penting mereka selamat.

Di ruangan tunggu, Febri duduk sambil memainkan HP-nya. Tetapi ia terlihat tidak konsentrasi pada HP dalam genggamannya. Pikirannya saat itu tercurah, berdoa penuh harap kepada Tuhan agar proses persalinan yang tengah berlangsung berjalan lancar.

Persis tengah malam, terdengarlah tangisan bayi yang Febri nanti-nantikan. Anak laki-laki pertamanya lahir dengan selamat, begitu pula istrinya meski terlihat lemah sekali.

Setelah mengetahui kondisi mereka berdua, Febri refleks bergegas mengkabari ibunda tercinta. Tanpa terasa air matanya berlinang, ketika ia mengatakan ‘proses persalinan istrinya berjalan lancar dan anak laki-lakinya lahir dengan selamat serta dalam keadaan sempurna’.

Febri menyadari benar, ia menangis bukan karena cengeng. Dirinya tidak kuasa membendung sebuah perasaan yang amat sangat luar biasa ia rasakan ketika itu. Itulah air mata BAHAGIA yang pernah dia rasakan. Itulah sepercik cahaya kebahagiaan yang dapat meluluhkan HATI telah membatu sekalipun.


Jejak bahagia yang menoreh di hati memang aneh. Dengan mengenangnya saja, kebahagiaan tidak hanya menyegarkan tetapi juga memompa semangat diri untuk berbuat lebih baik. Mengapa begitu? Karena apa-apa yang dirasa amat memberkas, meninggalkan kesan begitu mendalam. 

Itu sebabnya Febri masih dapat merasakan kejadian yang telah berlalu bertahun-tahun lamanya. Jejak rekam perasaan yang dirasa tidak mungkin dilupakan, sebab hatinya telah terukir ‘sesuatu’ yang tidak mungkin lagi terhapus.

     "Mengapa Febri merasakan bahagia yang amat sangat ketika itu?"
     "Mengapa Febri masih dapat mengingat, bahkan merasakan sentuhan rasa yang pernah dinikmatinya itu meski telah berlalu sekian tahun lamanya?"
     "Semua dikarenakan keinginankebutuhankesadaran Febri telah terpuaskan."

Kondisi penuh ketidakpastian yang dialami Febri telah menggiringnya kembali pada kodrati-Nya sebagai seorang manusia, bahwa Allah Maha Menentukan. Di tengah-tengah ketidakberdayaannya itu, membuat Febri secara sadar memasrahkan segala keputusan kepada TUHAN-nya. Ia tidak peduli lagi tentang apapun, kecuali berharap anak dan istrinya bisa selamat semata.

Saat Febri memasrahkan permasalahan pada TUHAN-nya, saat itulah JIWA yang bersemayam dalam diri Febri, BENAR-BENAR MENGAKUI keberadaan YANG MAHA KUASA. Akhirnya manakala yang diinginkandibutuhkan sesadar-sadarnya menjadi KENYATAAN sesuai harapannya, memuncaklah wujud rasa terima kasih (syukur) jiwa kepada Yang Maha Kuasa.

“Mereka yang beriman, hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenteram.” Q.S 13 Ar Ra’d (Guruh): 28

Akhirnya benarlah bahwasannya:

"Kebahagiaan hakiki memiliki makna kedekatan hubungan manusia dengan Sang Pencipta-Nya."

     “Mau hidup bahagia?”
     “Banyak-banyaklah berbagi, memberi, menyantuni.”
     “Itulah wujud sebagai kepanjangan tangan-Nya.” 

Selamat ulang tahun JNE...! Teruslah berkarya meningkatkan mutu pelayanan. Jasa pengiriman barang merupakan nadinya era digital. Kemajuan tekhnologi sebatas memudahkan proses pemesanan, namun ujung tombak mewujudkan produk-produk yang dipesan hingga dinikmati pelanggan, Andalah yang paling berjasa mewujudkan. Bersyukurlah...! Usaha jasa pengiriman barang adalah bahagian dari kepanjangan tangan-Nya yang sulit tergerus di era digital.

#jne #jne30tahun #connectinghappiness #30tahunbahagiabersama 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun