Mohon tunggu...
Untung Dwiharjo
Untung Dwiharjo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Surabaya

Lulusan Jurusan Sosiologi Fisip Unair. Pernah bekerja sebagai wartawan dan peneliti pada lembaga Nirlaba nasional yang berbasis di Surabaya. Pernah meraih juara pada lomab LKTI dan beberapa kali tulisannya mampir di bebrapa media seperti Jawa Pos, Surya, harian Bhirawa dan detik.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Waktunya Membuat UU KPK Baru

29 Desember 2021   10:29 Diperbarui: 29 Desember 2021   10:48 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang dengan adanya pemecatan orang  yang berkualitas memberantas korupsi yaitu sebanyak  57 orang  yang terkenal militan dalam memburu para koruptor tanpa pandang bulu, maka dapat kita prediksi bahwa akan terjadi penurunan dalam kualitas dan kuantitas  pemberantasan korupsi.

Kasus-kasus  korupsi yang kualitasnya  besar  seperti kasus korupsi bansos Harun Masiku misalnya hampir pasti tidak akan terungkap, padahal  melibatkan  kerugian negara yang sangat besar  dan tidak bisa menyentuh aktor utama yang memerintahkan kasus tersebut.

Sedangkan kasus yang tergolong "receh" di daerah  dinaikan  untuk menutupi kasus besar yang  tidak bisa diselesaikan karena berhubungan dengan  penguasa. Sehingga   pemberantasan korupsi  di Indonesia unsur pencegahannya lebih  di kedepankan dari pada unsur pemberantasan korupsinya.

Sehingga  pengungkapan kasus  korupsi seperti penangkapan ketua partai misalnya pada zaman dahulu kemungkinan  tidak akan pernah terjadi lagi.

Jadi memang hukum  di Indonesia kini  berlaku hukum yang merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa. Serta hukum  dimanfaatkan  sebagai instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan menegembangkan kekuasaannya (Sholahudin, 2011).

Selanjutnya bisa jadi KPK jadi alat untuk menghantam lawan politik dari penguasa atau setidaknya berseberangan dengan  tuduhan  korupsi. 

Serta  sebagai sarana bergaining politik, karena sekarang  KPK juga diberi hak untuk  menghentikan  suatu perkara (SP3), akibatnya  bisa terjadi  tawar-menawar dalam persoalan hukum  di KPK. 

Kasus suap terhadap  seorang penyelidik KPK yang baru-baru ini mencuat dalam kasus korupsi  seorang petinggi DPR bisa jadi hanya "puncak gunung es" saja. Tapi sebenarnya  banyak terjadi, karena menurunnya kualitas dan integritas KPK.  

Hampir pasti ke depan sengkarut pemeberantasan korupsi pasa revisi UU KPK dengan disusul oleh pemecatan  sebnayak 57 orang penyelidik yang tidak  lolos TWK akan menjadi   bak mengurai benang kusut  yang kian  ruwet dan  semakin kompleks.

Lalu jalan keluar dari sengkarut ini  adalah  mengadakan revisi  terhdap revisi UU KPK yang lama. Berupa revisi terhadap evisi Undang-Undang (UU) No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau bisa disingkat sebagai revisi UU KPK.

Hal itu bisa dilakukan dengan membuat  UU KPK baru yang merupakan perbaikan dari UU No. 19 tahun 2019 tersebut. Serta pergantian Komisioner KPK yang sekarang ini ada dengan cara pemilihan kembali komisioner KPK sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun