Mohon tunggu...
Untung Dwiharjo
Untung Dwiharjo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Surabaya

Lulusan Jurusan Sosiologi Fisip Unair. Pernah bekerja sebagai wartawan dan peneliti pada lembaga Nirlaba nasional yang berbasis di Surabaya. Pernah meraih juara pada lomab LKTI dan beberapa kali tulisannya mampir di bebrapa media seperti Jawa Pos, Surya, harian Bhirawa dan detik.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Waktunya Membuat UU KPK Baru

29 Desember 2021   10:29 Diperbarui: 29 Desember 2021   10:48 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemberantas korupsi Indoensia ditengarai para aktifias anti korupsi memasuki  babak baru. Pasca prcepatan pemecatan 57 pegawai Komisi pemberantasan  korupsi (KPK). Tepat tanggal  30 September 2021 mereka secara resmi  dipecat.  Mereka dipecat karena tidak lolos Tes Wawasan kebangsaan (TWK) di KPK.  Sekarang mereka  sebagian  ada yang  diangkat jadi ASN di Kepolisian.

30 September  tahun 1965 adalah gerakan penculikan dan pembunuhan yang  sebagiannya adalah pasukan cakrabirawa pengawal presiden  waktu itu. Kini tanggal yang sama dijadikan untuk memecat pegawai KPK. Kalau dulu tanggal 30 September 1965 para jenderal TNI  angkatan darat (AD) dibunuh, maka pada tanggal yang sama di tahun 2021, yang berbeda selisih 56 tahun para "jenderal" pemberantasan korupsi pun "dibunuh" karirnya di KPK.

Novel Baswedan dan kawan-kawan disingkirkan dari habitatnya yaitu KPK. Dugaan saya mungkin  agar mata rantai penanganan kasus korupsi besar  seperti  kasus bansos tidak terungkap secara tuntas.  Perburuan  Harun Masiku selama ini sepertinya menemui jalan buntu, padahal ada bekas anggota  penyelidik KPK yang mempunyai  informasi bahwa  tersangka  Harun Masiku berada di Indonesia sebagaimana dikatakan dalam acara diskusi di televisi. Tapi karena sudah tidak ada wewenang lagi kemudian dirinya tidak bisa mengeksekusi untuk menangkap.

Harun Masiku  lenyap seperti letnan satu Dul Arief selaku komandan lapangan pasukan penculik para jenderal  pahlawan revolusi yang sampai kini tidak tentu rimbanya. Memang dalam operasi intelijen  orang yang tahu banyak harus dihabisi  setelah tugasnya selesai.

***

Kini walaupun  KPK  berhasil  menangkap  wakil ketua DPR Aziz Syamsudin merupakan angota legislatif  dari partai pendukung pemerintah yang kini resmi sebagai tersangka  kasus korupsi. Serta  menangkap kasus yang diduga dilakukan kepala daerah, seperti di Probolingo dan Banjarnegara. Tapi mereka bukanlah dari partai penguasa pendukung pmerintah seperti harun Masiku.

Kini nasib 57 pegawai  KPK yang oleh seorang  mantan pimpinan KPK dikatakan adalah orang-orang yang penuh integritasmasuk  menjadi ASN  atas  tawaran iKapolri untuk  masuk menjadi ASN di Polri. Sungguh tidak  masuk di akal orang telah gagal tes di KPK  kemudian ditarik ke Polri. Ataukah ini sengaja untuk memindah orang-orang kunci di KPK yang mengetahui kasus  korupsi besar  orang  berpengaruh  yang juga pembesar negeri ini untuk tidak bisa diusut?

Mungkin upaya memindahkan para pecatan  pegawai  KPK  menjadi ASN Polri adalah agar mereka terpisah dari habitat sesunguhnya yaitu  KPK. Dimana mereka ahli dalam soal pemberantasan korupsi. Bandingkan apabila para pecatan KPK itu masuk  menjadi ASN Polri maka ada kmungkinan  akan mudah di kooptasi dan dihegemoni oleh kekuatan eksekutif.

Jadi sebenarnya penanganan korupsi  di Indonesia pasca 30 September 2021 bisa diduga  memiliki dua muka. Pertama, keras terhadap  para koruptor dari pihak yang berseberangan dengan penguasa. Kedua, lembek terhadap koruptor yang dekat dengan kekuasaan. Terutama  mandul terhadap  pelaku korupsi dari partai penguasa.  Seperti kasus  Harun  Masiku yang sampai sekarang  tidak bisa diendus oleh KPK seperti hilang "ditelan bumi".  Apakah  kasus harun Masiku itu sengaja  dilindungi atau  memang  dimatikan untuk tidak terungkap.

Ke depan  dengan melihat  gelagat  ketidaknetaralan dalam penanganan  korupsi  kita bisa menduga bahwa penanganan korupsi akan melakukan "tebang pilih" dalam  pemberantasan korupsi.  Dimana tajam pada pihak berseberangan dengan partai penguasa sebaliknya tumpul  apabila berhubungan dengan penguasa.

***

Sekarang dengan adanya pemecatan orang  yang berkualitas memberantas korupsi yaitu sebanyak  57 orang  yang terkenal militan dalam memburu para koruptor tanpa pandang bulu, maka dapat kita prediksi bahwa akan terjadi penurunan dalam kualitas dan kuantitas  pemberantasan korupsi.

Kasus-kasus  korupsi yang kualitasnya  besar  seperti kasus korupsi bansos Harun Masiku misalnya hampir pasti tidak akan terungkap, padahal  melibatkan  kerugian negara yang sangat besar  dan tidak bisa menyentuh aktor utama yang memerintahkan kasus tersebut.

Sedangkan kasus yang tergolong "receh" di daerah  dinaikan  untuk menutupi kasus besar yang  tidak bisa diselesaikan karena berhubungan dengan  penguasa. Sehingga   pemberantasan korupsi  di Indonesia unsur pencegahannya lebih  di kedepankan dari pada unsur pemberantasan korupsinya.

Sehingga  pengungkapan kasus  korupsi seperti penangkapan ketua partai misalnya pada zaman dahulu kemungkinan  tidak akan pernah terjadi lagi.

Jadi memang hukum  di Indonesia kini  berlaku hukum yang merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa. Serta hukum  dimanfaatkan  sebagai instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan menegembangkan kekuasaannya (Sholahudin, 2011).

Selanjutnya bisa jadi KPK jadi alat untuk menghantam lawan politik dari penguasa atau setidaknya berseberangan dengan  tuduhan  korupsi. 

Serta  sebagai sarana bergaining politik, karena sekarang  KPK juga diberi hak untuk  menghentikan  suatu perkara (SP3), akibatnya  bisa terjadi  tawar-menawar dalam persoalan hukum  di KPK. 

Kasus suap terhadap  seorang penyelidik KPK yang baru-baru ini mencuat dalam kasus korupsi  seorang petinggi DPR bisa jadi hanya "puncak gunung es" saja. Tapi sebenarnya  banyak terjadi, karena menurunnya kualitas dan integritas KPK.  

Hampir pasti ke depan sengkarut pemeberantasan korupsi pasa revisi UU KPK dengan disusul oleh pemecatan  sebnayak 57 orang penyelidik yang tidak  lolos TWK akan menjadi   bak mengurai benang kusut  yang kian  ruwet dan  semakin kompleks.

Lalu jalan keluar dari sengkarut ini  adalah  mengadakan revisi  terhdap revisi UU KPK yang lama. Berupa revisi terhadap evisi Undang-Undang (UU) No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau bisa disingkat sebagai revisi UU KPK.

Hal itu bisa dilakukan dengan membuat  UU KPK baru yang merupakan perbaikan dari UU No. 19 tahun 2019 tersebut. Serta pergantian Komisioner KPK yang sekarang ini ada dengan cara pemilihan kembali komisioner KPK sekarang ini.

Dengan mengganti komisioner KPK yang sekarang, terutama komisioner yang bermasalah sehingga  mejaga marwah KPK tetap bersih. Jadi sebenarnya yang dibutuhkan segera adalah  adanya UU KPK baru yang merupakan pengganti  dari UU No. 19 tahun 2019. Sehingga di dapatkan  UU baru yang semangatnya sama dengan UU KPK  awal yaitu UU No. 30 tahun 2002   

Untung Dwiharjo, Alumnus  Fisip Unair 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun