Masa balita masih didominasi dengan kegiatan fisik motorik, sehingga kami lebih mengalihkan perhatian anak pada kegiatan yang membutuhkan tenaga dan daya tarik.
Ya, kami lebih memilih menghadapi pola mereka ketimbang mereka terlihat diam dan memandang layar HP tanpa berkata.
Tentu jika kami tak membuka atau mengakses media, balita pun tak akan mengenal apa itu YouTube dan game-game yang ada. Yakin mereka hanya bisa melihat dan mendengar bunyi yang ditimbulkan dari sosok HP. Belum mengerti isi dan segala rupa di dalamnya. Jangankan mengerti, membuka sendiri pun belum tentu mereka bisa jika tidak dibantu orang tua.
Seiring bertambah usia dan menginjak masa sosialisasi dengan teman sebaya. Barulah mereka sedikit banyak ingin tau mengenai apa itu media.Â
Terlebih jika kerap melihat teman yang diizinkan menonton tayangan pada layar HP oleh orang tua mereka.
Saat itulah kami mulai menjelaskan tentang isi dan fungsi HP lebih mendalam. Untuk apa? Agar mereka tidak bertanya pada orang lain yang belum tentu memiliki jawaban yang bisa dipertanggung jawabkan.
"Tadi to Bu temenku liat film kartun di HP, trus bilang ini lo nonton YouTube. Emang YouTube itu apa sih Bu?"
"Terus ada gamenya juga lo. Main game begitu di HP bisa ya, Bu?"
Nah pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang tak boleh hanya dibendung tanpa ditanggapi. Sebagai tindakan antisipasi anak harus dijelaskan tanpa menutup berbagai pertanyaan lanjutan. Intinya kita harus bisa menjadi teman sekaligus kamus berjalan. Tentu agar anak terobati rasa penasaran.
Ketika mereka beranjak besar, apakah HP tetap tak diberikan? Ya, tentu saja! Lalu bagaimana jika ada teman yang menanyakan, "kok kamu belum diijinkan punya HP sendiri sih?" Saat itulah kami harus lebih tegas memberi alasan.
Di satu sisi barangkali HP pribadi dirasa cukup penting. Terlebih jika anak sedang tak berada di samping orang tua. HP menjadi alternatif jembatan komunikasi dengan anaknya. Ya, mungkin alasan ini bisa diterima.