"Masyarakat Indonesia kebanyakan menggemari film horor. Tapi faktanya, film animasi Jumbo ini mampu bersaing dengan jumlah penonton film Pabrik Gula misalnya. Hal ini membuktikan bahwa film animasi bisa juga berlayar layaknya film-film lainnya," terang Andi.
Film Jumbo ini, tambah Wakil ketua Asosiasi Sineas Film Sidoarjo itu, sudah memecahkan dua rekor sekaligus, yaitu film animasi terlaris di Indonesia yang sebelumnya dipegang oleh Frozen 2 yang mencapai 4,6 juta penonton.
Dan rekor yang kedua yaitu film animasi terlaris di Asia Tenggara mengalahkan BoBoiBoy dari Malaysia.
Tak hanya itu, film Jumbo ini juga banyak melibatkan animator lokal yang juga lulusan dari Does University yang dikelola oleh Erix Soekamti sebagai bentuk CSR Endank Soekamti untuk berbagi kepada masyarakat Indonesia.
"Ini sangat menarik, jadi gebrakan baru yang patut dibanggakan untuk animasi lokal menjadi internasional," ujarnya.
Secara artistik film ini, Andi berpendapat bahwa film Jumbo sudah pantas untuk di level Asia seperti Tiongkok dan Thailand.
Walau film ini berbeda dengan film-film yang laris sebelumnya Andi berpendapat bahwa hal ini bukanlah perubahan selera dari penonton, Â terlebih bagi Gen Z yang memang memiliki rasa penasaran tinggi.
Apalagi dari sisi cerita, ada fakta menarik dari film Jumbo, yaitu bagian dari suatu universe yang dimiliki Visinema Pictures. Hal ini memungkinkan akan adanya cerita-cerita selanjutnya.
Tantangan Industri Film Animasi
Lebih lanjut, Andi memaparkan tantangan yang akan dihadapi setelah booming-nya film ini.
"Tantangannya itu kita harus terus menonton film animasi produk Indonesia sendiri. Karena memang animasi Indonesia itu jarang disuguhkan. Mungkin ada beberapa, namun belum banyak," tuturnya.
Ia menyoroti bahwa film animasi luar negeri masih lebih diminati masyarakat. Sementara animasi lokal masih kurang didukung.