Mohon tunggu...
UmsidaMenyapa1912
UmsidaMenyapa1912 Mohon Tunggu... Freelancer - Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Kami Instansi yang bergerak di bidang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menunggu Kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi

16 April 2024   13:32 Diperbarui: 16 April 2024   13:43 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa dalil Pemohon terkait kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam proses kontestasi Pemilu, harusnya bisa diproses melalui Panwaslu, Kepolisian dan PTUN. Kebuntuan prosedural seperti yang dikemukakan oleh Pemohon, harus dapat dibuktikan untuk kemudian dapat direspon sebagai bagian dari catatan bagi legitimasi hasil putusan KPU.

Dalam konteks inilah Mahkamah Konstitusi berperan penting dalam memverifikasi kelayakan dalil Pemohon dalam mempersoalkan keabsahan dan legitimasi hasil Pemilu yang ditetapkan oleh KPU. Karena MK bertanggung jawab atas legalitas dan legitimasi hasil Pemilu/Pilpres, maka MK harus memastikan bahwa argumentasi dan putusannya berpijak pada fakta dan data yang valid dan relevan dengan issue seputar hasil Pemilu yang dipermasalahkan ke hadapannya.

Mahkamah Konstitusi Harus Menjadi Mahkamah Kebijaksanaan

Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of contitution) MK dituntut untuk mampu meletakkan diri sesuai dengan mandat kekuasaan yang diletakkan oleh konstitusi. Dalam konteks PHPU, eksistensi MK sebagai penjaga konstitusi harus dipahami sebagai peran dan tanggung jawab MK untuk menjamin terlaksananya amanah konstitusi dalam penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2024. untuk itu, MK perlu memastikan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 telah selaras dengan prinsip, spirit dan cita konstitusi. Untuk itu, Mahkamah Konstitusi perlu meletakkan standard penilaian yang tepat dalam proses penyelesaian sengketa PHPU, guna menjamin proses penegakan konstitusi tidak keluar dari koridor konstitusi itu sendiri.

Ditengah proses persidangan hingga menjelang pembacaan putusan nanti, ruang sosial masyarakat Indonesia (khususnya Sosmed), banyak diisi dengan berita yang berisi propaganda dari kubu Pemohon maupun pihak terkait dalam PHPU. Perang narasi yang masif tersebut dapat dilihat sebagai upaya untuk mengarahkan opini publik sesuai aspirasi politik mereka. Dalam situasi seperti saat ini, ada baiknya MK mencerna pesan Prof Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK, yang menyatakan bahwa keputusan hakim tidak akan pernah membahagiakan setiap orang, akan selalu ada pihak yang kalah yang kecewa dengan putusannya. Karenanya, hakim harus berdiri pada koridor sistem hukum untuk menghasilkan keputusan yang berkeadilan.

Sebagai pengadil, MK terikat oleh asas hukum acara yang memandu proses peradilan mereka. Guna mewujudkan keadilan substantif, MK terikat oleh asas audi et alteram partem dan asas independen-imparsialitas. Dengan asas tersebut, MK wajib mendengar dan mempertimbangkan pandangan, keterangan dan data yang dihadirkan para pihak secara berimbang.

Tapi perlu diingat, bahwa kewajiban mendengar itu terkait apa yang disajikan para pihak dalam persidangan, bukan yang disuarakan di media dan ruang publik. Dalam hal ini MK harus dapat menegaskan independensinya sebagai lembaga peradilan. Bahwa putusan peradilan dihasilkan melalui pembuktian atas data dan fakta, bukan berdasarkan asumsi maupun tekanan opini publik.


MK perlu mempertimbangkan wacana pembusukan demokrasi yang didalilkan oleh Pemohon dalam Persidangan. Satu kondisi yang secara sadar kita bersama rasakan adanya. Namun, penting untuk MK secara jernih menakar kadar keterkaitannya dengan hasil Pilpres yang dipermasalahkan.

Secara kualitatif MK perlu menilai kualitas pembuktian yang diajukan oleh Pemohon. Secara reflektif, Hakim MK perlu menghayati fenomena pembusukan demokrasi yang hadir dalam realitas sosialnya. Keduanya penting dilakukan, mengingat argumentasi dan pokok putusan MK disusun berdasarkan keyakinan Hakim.

Lihat juga: Muhammadiyah Ambil Peran Kontrol Pemimpin Negara Usai Pemilu

Di dalam penyelesaian sengketa Pilpres ini, Mahkamah Konstitusi memang tidak selayaknya meletakkan dirinya sebagai 'Mahkamah Kalkulator', yang hanya mengakomodasi proses kalkulasi ulang selisih suara dalam pembuatan keputusannya. Namun, bukan berarti MK dapat mengesampingkan proses kalkulasi selisih perolehan suara dalam proses pembentukan putusannya. Karena bagaimanapun juga, justifikasi pemenang Pilpres ditentukan oleh selisih hasil perolehan suara masing-masing Paslon.

Karenanya, MK dalam putusannya harus mempertimbangkan fakta dan data yang diajukan oleh para pihak. Khususnya terkait dugaan kecurangan yang bersinggungan dengan validitas data hasil perolehan suara masing-masing Paslon. Berdasarkan data dan fakta dalam persidangan, Mahkamah Konstitusi berhak menentukan apakah hasil Pilpres sah atau tidak, apakah Pilpres perlu diulang atau tidak, dan siapakah pemenang Pilpres 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun