Menjalani Hidup Ala Bu Tuni
Siapakah Bu Tuni? Apakah dia seorang tokoh sehingga penulis  perlu menulis kisahnya ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah simak  tulisan  Bu Doktor di grup WA yang berjudul "Kita Bisa Apa: Terpenjara Di Rumah Sendiri."  Bu Doktor berkata begitu karena pada waktu itu pandemi covid sudah satu tahun lebih dan belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.  Banyak rumah sakit kewalahan menerima kedatangan pasien covid. Bahkan pasien yang meninggal karena covid harus mengantri untuk perawatan jenazah mereka di rumah sakit.
Dan  hari itu kita menyaksikan penghuni makam bertambah  hanya dalam hitungan bulan.
Lalu  Bu Doktor menunjukkan  catatan temannya terkait dengan  perkembangan kasus covid-19 di Indonesia.
Tgl. 2 Maret 2020 kasus pertama Covid-19 ditemukan di Indonesia.
Tgl. 26 Januari 2021 (331 hari kemudian) sebanyak 1.000.000 PERTAMA kasus penderita Covid-19 di Indonesia.
Tgl. 21 Juni 2021 (151 hari kemudian) sebanyak 1.000.000 KEDUA kasus penderita Covid-19 di Indonesia.
Tgl. 22 Juli 2021 (31 hari kemudian) sebanyak 1.000.000 KETIGA kasus penderita Covid-19 di Indonesia.
Jadi waktu itu pencapaian setiap 1.000.000 penderita makin lama makin pendek.
Dari catatan itu bu doktor kemudian menyimpulkan bahwa kita  tidak sedang baik-baik saja.  Kita tak mudah lagi  bepergian.  Bahkan sekedar untuk ke luar rumah membeli sembako. Lebih-lebih berobat ke rumah ketika jatuh  sakit.
Sehingga akhirnya kita  terpenjara di rumah sendiri. Â
Lantas Bu Doktor melanjutkan perkataannya. Â Kapan semua ini berakhir? Kapan kesedihan ini berujung? Kapan kita bisa berkumpul seperti dulu lagi ? Kejenuhan, kebosanan, ketidakberdayaan silih berganti mengisi jiwa yang setengahnya sudah kosong.
Stop. Mari kita beralih pada sosok perempuan sederhana. Namanya Bu Tuni. Â Usianya sekitar 69 tahun. Sudah punya banyak cucu. Tetapi tak mau hidup atau direpoti cucu. Karena mendidik anak adalah tugas orang tua. Sedangkan tugasnya dia sebagai nenek dan suaminya sebagai kakek sekarang adalah fokus mendekatkan diri kepada-Nya.Â
Bu Tuni nyaris tidak pernah  pegang HP. Karena  Bu Tuni tidak bisa mengoperasikannya. Dia hanya lulusan SD. Meskipun demikian caranya menikmati hidup pada masa pandemi covid yang belum benar-benar berlalu patut dijadikan contoh. Paling tidak bagi penulis.
Bu Tuni percaya Covid-19 ada. Dan tidak percaya bahwa orang sakit yang berobat ke rumah sakit  tidak selalu terkena covid.  Qodarullah, Bu Tuni pernah dadanya sesak dan berobat ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Bu Tuni di-swab. Ternyata hasilnya negatif. Dan Bu Tuni sesak bukan karena terpapar covid-19. Tetapi karena penyakit asmanya kambuh. Sehingga dokter mengizinkan Bu Tuni pulang, setelah sehari menjalani rawat inap  di rumah sakit.
Karena kondisi fisiknya yang sudah berumur dan lingkungan sekitar yang kurang kondusif misalnya adanya polusi udara, penyakit asma Bu Tuni sering kambuh. Meskipun demikian, Bu Tuni tidak lagi panik ketika terserang sesak. Karena, qodarullah ada tetangga Bu Tuni yang membelikan alat bantu pernafasan. Setiap merasa sesak nafas, Bu Tuni segera memasang alat bantu pernafasan pada hidungnya. Sehingga Bu Tuni bisa bernafas dan beraktivitas seperti sediakala.
Dalam kondisi baru sembuh dari sakit. Bu Tuni masih menyempatkan diri memasak nasi untuk para tukang yang sedang bekerja merenovasi masjid di dekat rumahnya. Kata Bu Tuni, mumpung masih ada umur, Bu Tuni berusaha berbuat baik sebanyak mungkin. Sebelum PPKM Â berlaku, Bu Tuni bersama suaminya mengajari anak-anak membaca Alquran di mushola
Suami Bu Tuni  adalah marbot mushola. Sudah pensiun dari DPU. Gajinya tak seberapa. Meskipun demikian bu Tuni selalu mensyukuri pemberian suaminya. Hidupnya qona'ah alias "nrimo ing pandum."Â
Bu Tuni perempuan dermawan. Tidak hanya sebatas pada lisannya tetapi juga dengan tindakan nyata. Atas izin suaminya, Bu Tuni membantu orang-orang yang tidak mampu yang ada di lingkungannya. Â Â
Bu Tuni nyaris tak pernah menolak membeli barang dagangan orang  dhuafa atau janda yang datang  ke rumahnya. Apakah itu pisang, susu kedele, sabun cuci piring atau sembako. Bu Tuni selalu membelinya tanpa menawarnya. Karena, suaminya memang menyuruhnya demikian.
Kalau penulis berkunjung ke rumahnya dengan wajah melankolis ( sebetulnya cetakan wajah penulis aslinya memang melankolis) maka Bu Tuni akan menghibur penulis.
Bu Tuni memang tetangga penulis yang baik hati dan Masya Allah sungguh mengasyikan kalau diajak  berbicara.. Setiap berbicara dengannya selalu menyinggung akhirat. Kata Bu Tuni kita semua sedang menunggu antrian  menuju akhirat. Menunggu kematian. Tanpa tahu kapan jadwalnya. Tanpa tahu  apa yang mengantarkannya. Covid-19 hanya salah satunya. Â
Bu Tuni melanjutkan penuturannya. Kita mati tidak  membawa  apa-apa.
Apa kita membawa rumah yang baru saja kita bangun? Membawa mobil yang baru saja kita beli?  Tidak. Kita hanya membawa kain kafan yang melekat pada jazad kita. Setelah itu kain kafan hancur dimakan rayap dan jazad  kita dimakan ulat. Yang tersisa hanya amal perbuatan kita selama hidup di dunia. Kalau sudah begini pantaskah kita  sombong?
Dalam hati penulis menjawab. Ya Bu Tuni. Sesungguhnya hidup di dunia ini hanyalah untuk mengabdi kepada Nya saja dan sekaligus kesibukan untuk mengisi bekal ke kampung akhirat.
--Catatan Ma'e 49--
Bondowoso, 5 /01/2023