Mohon tunggu...
Abdisita Sandhyasosi
Abdisita Sandhyasosi Mohon Tunggu... Psikolog - Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjalani Hidup ala Bu Tuni

5 Januari 2023   22:51 Diperbarui: 5 Januari 2023   23:01 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena kondisi fisiknya yang sudah berumur dan lingkungan sekitar yang kurang kondusif misalnya adanya polusi udara, penyakit asma Bu Tuni sering kambuh. Meskipun demikian, Bu Tuni tidak lagi panik ketika terserang sesak. Karena, qodarullah ada tetangga Bu Tuni yang membelikan alat bantu pernafasan. Setiap merasa sesak nafas, Bu Tuni segera memasang alat bantu pernafasan pada hidungnya. Sehingga Bu Tuni bisa bernafas dan beraktivitas seperti sediakala.

Dalam kondisi baru sembuh dari sakit. Bu Tuni masih menyempatkan diri memasak nasi untuk para tukang yang sedang bekerja merenovasi masjid di dekat rumahnya. Kata Bu Tuni, mumpung masih ada umur, Bu Tuni berusaha berbuat baik sebanyak mungkin. Sebelum PPKM  berlaku, Bu Tuni bersama suaminya mengajari anak-anak membaca Alquran di mushola


Suami Bu Tuni  adalah marbot mushola. Sudah pensiun dari DPU. Gajinya tak seberapa. Meskipun demikian bu Tuni selalu mensyukuri pemberian suaminya. Hidupnya qona'ah alias "nrimo ing pandum." 

Bu Tuni perempuan dermawan. Tidak hanya sebatas pada lisannya tetapi juga dengan tindakan nyata. Atas izin suaminya, Bu Tuni membantu orang-orang yang tidak mampu yang ada di lingkungannya.   

Bu Tuni nyaris tak pernah menolak membeli barang dagangan orang  dhuafa atau janda yang datang  ke rumahnya. Apakah itu pisang, susu kedele, sabun cuci piring atau sembako. Bu Tuni selalu membelinya tanpa menawarnya. Karena, suaminya memang menyuruhnya demikian.

Kalau penulis berkunjung ke rumahnya dengan wajah melankolis ( sebetulnya cetakan wajah penulis aslinya memang melankolis) maka Bu Tuni akan menghibur penulis.

Bu Tuni memang tetangga penulis yang baik hati dan Masya Allah sungguh mengasyikan kalau diajak  berbicara.. Setiap berbicara dengannya selalu menyinggung akhirat. Kata Bu Tuni kita semua sedang menunggu antrian   menuju akhirat. Menunggu kematian. Tanpa tahu kapan jadwalnya. Tanpa tahu  apa yang mengantarkannya. Covid-19 hanya salah satunya.  

Bu Tuni melanjutkan penuturannya. Kita mati tidak  membawa  apa-apa.
Apa kita membawa rumah yang baru saja kita bangun? Membawa mobil yang baru saja kita beli?   Tidak. Kita hanya membawa kain kafan yang melekat pada jazad kita. Setelah itu kain kafan hancur dimakan rayap dan jazad  kita dimakan ulat. Yang tersisa hanya amal perbuatan kita selama hidup di dunia. Kalau sudah begini pantaskah kita  sombong?

Dalam hati penulis menjawab. Ya Bu Tuni. Sesungguhnya hidup di dunia ini hanyalah untuk mengabdi kepada Nya saja dan sekaligus kesibukan untuk mengisi bekal ke kampung akhirat.

--Catatan Ma'e 49--
Bondowoso, 5 /01/2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun