Beberapa orang perempuan  menganggap bahwa utang adalah perkara biasa. Karena, mereka meyakini bahwa orang hidup tidak bisa lepas dari utang. Bahkan mereka menjadikan utang sebagai gaya hidup mereka. Apalagi  sekarang  banyak bisnis pinjol (pinjaman  online) yang menawarkan pinjaman kepada mereka tanpa "ribet."
Kata mereka, "Pada zaman sekarang, mana bisa mereka memiliki  rumah, mobil, dan motor  kalau mereka tak berutang pada bank? Mana bisa mereka memiliki barang-barang yang sedang "trend kalau mereka tidak membelinya secara kredit?
Sedangkan beberapa  perempuan lainnya menganut hidup "qona'ah"  (merasa cukup atas karunia-Nya) dengan  tidak mau berutang. Bahkan mereka berusaha menghindari utang semampu mereka. Salah satu perempuan itu adalah Ma'e.
Alasan Ma'e tidak mau berutang adalah karena orang yang berutang rentan terkena stres tanpa ia sadari.
Menurut WF Maramis dalam buku "Ilmu Kedokteran Jiwa" stres adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian  diri dan karena itu sesuatu yang mengganggu keseimbangan.
Jika orang berutang identik  dengan  orang rentan terkena stress atau orang yang rentan mengalami ketidakseimbangan. maka orang yang suka berutang, tentu tidak  akan bisa hidup damai di dunia.
Orang yang suka berutang juga tidak bisa hidup damai di akhirat karena akan terhalang memasuki surga, sebagaimana hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Ruh orang mati itu tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuk nya." (HR Ahmad dan Tirmidzi no. 563)
Hadits tersebut betul-betul menyentak kesadaran Ma'e  untuk tidak menyepelekan utang. Karena, seberapapun  besarnya amal kebaikan seseorang, jika ia mati dengan  membawa utang maka utangnya itu akan menghalanginya masuk surga. Dan selanjutnya Ma'e berusaha menjalani hidup damai tanpa utang.
Kenyataannya Ma'e  masih mempunyai utang sekian puluh ribu pada seseorang. Karena,  Ma'e belum mempunyai uang untuk melunasinya.
Sebetulnya Ma"e sudah berusaha menyisihkan uang untuk membayarnya. Tetapi, penghasilan Ma'e sering habis untuk membiayai keperluan studi anak-anaknya.
Penghasilannya sebagai pedagang kecil tidak menentu dan minim sekali. Jauh di bawah UMR di kotanya. Sementara biaya studi anak  anak-anak Ma'e yang kuliah di perguruan tinggi dan mondok di pesantren cukup besar--meskipun ada anak Ma'e yang  mendapatkan  keringanan  biaya dan bea siswa--sehingga tiada uang yang tersisa untuk membayar hutang.