"Tentu jauh angkasa. Â Kalau ke angkasa harus naik roket.
"Kalau ke surga?"
Mataku tambah terbelalak. Jantungku mulai berdebar tak karuan. Meskipun demikian aku mencoba menenangkan diriku. Setelah agak tenang, aku menjawab,
"Kalau ke surga jauuuh sekali. Â Lebih jauh dari Mekah. Lebih jauh dari Kutub. Â Lebih jauh dari angkasa. Kalau ke surga harus jadi anak sholeh dulu."
"Aku anak sholeh ya, Umi? " tanya Wildan dengan ekspresi serius.Â
Aku tersentak. "Iya. Â Anak sholeh juga anak pintar. " jawabku spontan.
Serta merta Wildan melonjak kegirangan. "Cihui. Â Umi aku mau ke surga. "Â Wildan menerbangkan pesawat rakitannya.
Aku tercenung. Â Jantungku mendadak berdenyut kencang. Â "Jangan dulu. Â Nanti saja kalau sudah besar. Â Sebab kalau ke surga harus jadi anak shaleh dan mati dulu,," sahutku. Â
Wildan tak menggubris. Â Ia asyik menerbangkan pesawatnya ke langit.
Jumat pagi. Â Kira-kira pukul sembilan-- saat aku mengajar di TK-- tiba-tiba terdengar bunyi. Derr! Spontan dalam benakku terlintas bayangan truk menabrak pohon asem di depan sekolah Wildan .
Tiba-tiba Faruq--anakku yang ikut aku ke TK, biasanya aku juga mengajak Adil ke TK tetapi hari itu kutitipkan ke orang tuaku yang sedang berkunjung ke rumahku --dipukul temannya dengan kursi dan hal itu mengakibatkan mulutnya berdarah. Sehingga bayangan truk menabrak pohon terlupakan dan aku pun fokus menangani Faruq.
Dua jam berlalu. Ketika kami berjalan pulang,  seorang bapak  memberi tahuku bahwa Wildan terjatuh dan ada di RS. Lalu bapak itu mengajak kami ke RS.Â