Mohon tunggu...
Ummi Hannif Fitri
Ummi Hannif Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Jakarta

Mahasiswa UIN Jakarta // FDIKOM // Pengembangan Masyarakat Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dakwah Bukan Hanya Tentang Benar, tapi Bagaimana Membuatnya Didengar

24 Juni 2025   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2025   19:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di zaman yang serba cepat, orang-orang tidak lagi menunggu untuk diceramahi. Mereka ingin merasa dihargai, diajak bicara, dan diberi ruang untuk berpikir. Itulah mengapa hari ini, dakwah tidak cukup hanya benar, ia harus juga bisa diterima dan dimengerti.

Tapi bagaimana caranya? Jawabannya bukan sekadar soal niat baik. Ini soal cara berkomunikasi.

Komunikasi: Jantung dari Sebuah Dakwah
Bayangkan kamu sedang berbicara kepada seseorang tentang pentingnya shalat. Kamu bicara panjang lebar, tapi lawan bicaramu malah mengecek ponsel. Mungkin bukan karena ia tidak peduli, tapi karena cara kamu menyampaikan tidak nyambung dengan dunianya. Hal ini bukan soal isi dakwah yang salah, tapi soal cara bicara yang tidak pas. Di sinilah komunikasi jadi jantung utama. Dalam dunia dakwah, komunikasi bukan cuma alat tetapi menjadi sebuah jembatan antara hati dengan hati.

Zaman telah berubah, begitu juga cara orang memahami pesan. Teori komunikasi yang dulu kaku kini harus lentur. Ada beberapa prinsip yang bisa kita gunakan agar dakwah tidak hanya menyentuh pikiran, tapi juga perasaan:

Dakwah bukan monolog. Dulu, ceramah adalah satu-satunya cara. Sekarang? Orang ingin dialog. Mereka ingin bertanya, berdiskusi, bahkan menantang. Dan itu bukan masala malah menjadi sebuah peluang. Pendengar bukan kertas kosong. 

Audiens bukan gelas kosong yang bisa diisi. Mereka punya pengalaman, luka, keresahan. Kalau kamu tidak memahami itu, pesanmu akan mental sebelum masuk.

Dakwah Itu seni, bukan sekadar sains. Sama seperti seni lukis, dakwah juga butuh rasa. Ada warna, nada, bahkan jeda. Maka penting untuk tahu kapan harus lembut, kapan harus kuat.

Dakwah di era swipe dan scroll. Kita hidup di era di mana orang lebih banyak scroll daripada membaca buku. Di sinilah komunikasi digital menjadi medan baru dakwah. Tapi jangan salah, meskipun platformnya berubah, prinsipnya tetap: Jujur, bukan sensasional. Dekat, bukan menggurui. Relevan, bukan mengawang.

Misalnya, menyampaikan pesan Islam lewat thread Twitter tentang kecemasan mental. Atau mengajak shalat subuh lewat Instagram Reels yang relate dan lucu. Itu semua bentuk dakwah selama niat dan isinya mengajak pada kebaikan.

Bukan menangkan debat, tapi sentuh hati. Dalam komunikasi dakwah, tujuannya bukan menang argumen. Tujuannya adalah membuka ruang agar orang merasa diterima dan tertarik mendekat. Untuk itu, ada tiga "senjata rahasia":
Hikmah. Pilih kata dengan bijak, bukan sekadar lantang.
Mau'izhah Hasanah. Nasihat yang lembut, bukan cemooh yang tajam.
Mujadalah bil-lati hiya ahsan. Dialog yang santun, bukan debat yang mengintimidasi.

Jika hari ini banyak orang yang menjauh dari agama, mungkin bukan karena Islam yang kurang indah. Tapi karena mereka belum mendengar Islam dengan cara yang indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun