Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blok B 3 No 18

17 Oktober 2020   21:43 Diperbarui: 17 Oktober 2020   21:45 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hening, tidak ada suara klakson atau mamang-mamang memukul mangkok sambil mendorong gerobak untuk menjajakan jualannya, ini benar-benar seperti hening tapi tidak. Disini ada suara baling-baling kipas angin yang berputar searah jarum jam.

Dua orang suami istri sedang duduk di atas tempat tidur, meski berdekatan namun kenyataannya mereka berjauhan dengan ponsel masing-masing di tangan.

"Dek, kamu kalau siang mbok yo keluar gitu, ngobrol sama tetangga." ucap si suami.

"Hmmm..." jawab istrinya asal.

Slamet dan Sisri baru dua bulan menikah dan sebulan yang lalu mereka pindah ke rumah baru mereka di sebuah perumahan. Blok B 3 no 18 itulah kediaman baru mereka. 

Sisri merupakan wanita penyendiri. Iya, dia seorang introvert yang akan kehilangan banyak energi jika bertemu banyak orang. Dia juga bukan seorang yang supel, dia pemalu dengan orang baru dan sering canggung jika di ajak bicara.

"Kamu itu lho, tetangga tu ngomongin kita, katanya kamu nggak mau keluar nggak mau bergaul," ucap Slamet.

Esok harinya, Sisri yang baru saja di tinggal suaminya kerja duduk di kursi depan rumah. Kebetulan mereka punya kursi panjang yang biasa di pakai nongkrong ibu-ibu saat pagi.

"Mba Sri, gitu dong keluar jangan di dalem terus. Nanti kalau mati nggak ketahuan, gimana?" ucap perempuan bernama Tania yang hanya lewat itu.

Tania juga pengantin baru usianya lebih tua beberapa tahun sari Sisri. Mendengar ucapan Tania, Sisri hanya tersenyum menahan dongkol.

"Nggak usah di dengerin Sri, Tania emang kaya gitu." ucap seorang nenek Farida yang baru saja datang dengan menggendong cucu nya.

Sisri hanya tersenyum seolah dia ingin orang tahu kalau dia baik-baik saja dan tidak masalah dengan ucapan Tania. Namanya juga perumahan, setiap pagi pasti ada saja pedagang yang keliling, kali ini yang datang pertama adalah penjual ikan. Nenek Farida menyerahkan cucunya pada Sisri tanpa meminta persetujuan nya kemudian menghampiri si tukan ikan. 

Hanya sebentar lalu nenek Farida kembali, katanya semua ikannya busuk. Si penjual yang mendengar wajahnya langsung berubah, Sisri tahu kalau penjual itu pasti tersinggung.

"Kau lihat lah itu Sri, itu namanya Iva. Dia anaknya Nenek Sani, nah dia itu nikah sama suami orang," ucap Nenek Farida sambil menujuk ke seorang perempuan mua yang sedang memandikan anaknya di depan rumah.

Sisri hanya terdiam dan mencoba melukis senyum di ujung bibirnya.

"Disini banyak sawah ya, Nek. Kampung saya juga tapi sepertinya disini lebih banyak." ucap Sisri membuka percakapan lain.

"Halah, disini oranya tapi males. Eh tau nggak Sri, si nenek Sani itu nikah dua kali nah yang anak biasa sama dia itu si bontot, dia udah tua tapi masih punya anak umur 5 tahun, ck.. pasti kasihan nantinya anak itu," 

Datang Bu Lasmi dengan dua anaknya yang masih kecil-kecil, satu persatu anaknya ia suapi. Anak pertama tiba-tiba nangis karena ibunya hanya menyuapi adiknya, dan adiknya tidak terima kalau kakaknya makan jatah ayamnya, suasana pagi yang ramai seperti biasa. 

"Gini nih Sri kalau udah punya anak mah repot, pagi-pagi harus ngurus suami anak rewel cucian banyak. Kamu sih enak pengantin baru."ucap Lasmi mencoba membandingkan hidupnya yang menurutnya tidak enak itu dengan Sisri.

"Maaf bu, tapi justru saya ingin kaya ibu. Menikah hamil punya anak." tegas Sisri.

"Nikmati aja dulu Sri," ucap Lasmi.

"Tau nggak Las, itu si Yanti sama suaminya itu lho, ampun masa tirai doang dia akui kan saya juga berhak," sela nenek Farida.

"Tirai apa nek? Yang didepan itu. Ya ampun, saya juga denger katanya jemuran nenek juga sering di pakai dia kan? Emang suami istri nggak tau yang namanya bertetangga sih." ucap Lasmi.

"Maaf bu--" sela Sisri.

Sisri melihat Yanti baru saja keluar memperbaiki kran yang bocor, namun Nenek Farida dan Lasmi tidak menyadari kedatangan Yanti, sedangkan Sisri yang mencoba memberi tahu tak kuasa menyela ucapan Lasmi.

"Maaf ya bu ibu, saya pakai tirai itu karena saya yang beli, dan jemuran itu juga punya saya." ketus Yanti.

Nenek Farida dan Lasmi tertegun, sejak kapan Yanti keluar rumah. Mereka dengan kompak melirik Sisri yang seolah jadi tersangka utama karena tidak memberi tahu mereka berdua jika ada Yanti.

Malam telah datang, suara suara burung malam bersahutan dengan riuhnya suara katak. Sejak sore hujan turun, jalan basah dan jemuran tidak ada yang kering.

"Mas, emang bu Asti itu pernah selingkuh sama pak Yayat," tanya Sisri pada suaminya.

Slamet yang mendengar pertanyaan tak biasa dari istrinya itu terkejut, ponsel ia letakan dan ia tatap lekat-lekat mata istrinya.

"Ada apa?" tanya Sisri heran.

"Kamu tahu dari siapa?"

"Bu Lasmi sama nenek yang cerita tadi pagi. Terus katanya si Iva itu nikah sama suami orang ya?"

"Kamu kok ngomong gitu?" tanya Slamet semakin heran.

"Apa? Bukannya mas yang mau saya itu bergaul dengan mereka? Oya, tadi pagi juga Bu Yanti ngamuk"

"Kenapa?" tanya Slamet penasaran.

"Iya jadi tu ceritanya...."

Sisri menceritakan semua yang ia dengar pagi tadi saat ia berkumpul dengan tetangganya. Slamet semakin ngeri dengan apa yang diceritakan oleh Sisri, istrinya itu seperti bukan dirinya lagi. Slamet sadar jika itu tidak benar, Slamet menghela nafas panjang dan mulai berpikir, apa terlibatnya sang istri dalam pergaulan ibu-ibu itu baik atau justru akan membawa dampak buruk? Berhari-hari ia berpikir, setiap malam setelah ia pulang kerja Sisri selalu menceritakan kembali apa yang ia alami saat sang suami pergi.

"Dek, kalau kamu nggak nyaman kumpul sama mereka, mas nggak akan paksa kamu,"

Sisri tersenyum dan memeluk suaminya, dia tahu suaminya itu baik dan juga ingin yang terbaik baginya, tapi menjadi bagian dari mereka bukan hal terbaik untuk Sisri. Bersosialisasi itu memang penting tapi juga harus pilih mana yang membuatmu jadi lebih baik dan mana yang mengantarmu pada keburukan.

Kini Sisri tidak lagi keluar rumah dengerin Nenek dan para ibu bergosip melainkan hanya diam di rumah dan membaca buku.

Tapi tetap dia tidak pernah lupa menyapa dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan semua orang.

The End

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun